Senin, 21 Juni 2010

kepribadian

BAB I
Kepribadian
A. Pengertian Tentang Kepribadian Secara Umum
Kepribadian atau Asy-Syakhshiyah, dalam bahasa inggris disebut dengan personality. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani “Persona” yang berarti “topeng”. Topeng biasanya dipakai oleh seorang pemain sandiwara atau dalam menggambarkan hakekat dirinya melalui ucapan-ucapan dan gerak-gerik atau tingkah laku di atas panggung, sesuai dengan peran yang dimainkannya dan skenario yang menuntutnya. Dari asal kata tersebut para ahli psikologi memberi definisi bahwa kepribadian adalah gambaran tentang organisasi yang dinamis dari fisik dan psikis seseorang, yang membentuk karakter khusus yang unik, dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan1. Untuk membentuk kepribadian yang unik dan mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan itu tidaklah gampang, akan tetapi memerlukan proses yang cukup lama. lingkungan adalah salah satu yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang.
Oleh karena itu, kepribadian sangat penting meskipun tidak kelihatan dalam waktu relatif singkat, karena kebanyakan dari kita sangat pandai dalam menyembunyikan kepribadian yang sebenarnya. Namun untuk jangka panjang dan untuk kebaikan, kita perlu pekerjaan yang cocok dengan kepribadian kita agar tidak timbul penyimpangan dalam pekerjaan tersebut, terkadang kita harus mengubah kepribadian atau beradaptasi untuk setiap jenis pekerjaan.
Adapun pendapat para ahli psikologi tentang kepribadian sangatlah banyak, akan tetapi penulis hanya akan mengambil dari sebagian di antara pendapat para ahli psikologi yang berkaitan dengan kepribadian penulis dan pembaca, untuk lebih mengenal hakekat kepribadian dalam diri kita yang sebenarnya, diantaranya:
1. Menurut Alport, kepribadian adalah “organisasi dinamis dari sistem psiko-fisik (jiwa raga) dalam individu yang ikut menentukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan”.
2. Menurut Cuber, kepribadian adalah “gabungan seluruh sifat khas yang tampak dan dapat dilihat pada seseorang”.2
3. Menurut Sigmund Frend, pendiri dan pencetus aliran psico-analisa, kepribadian manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu; id, ego dan super ego (dalam bahasa Inggris) atau das es, das ich, dan uber ich (dalam bahasa Jerman). Id atau das es adalah lapisan paling dalam atau paling bawah dan merupakan bagian yang tidak sadar dari jiwa manusia.
4. Menurut Kurt Lewin, tokoh aliran gestalt, kepribadian itu merupakan satu gestalt (kesatuan yang memiliki struktur tertentu dengan bagian-bagian yang terpisah dan dapat dibeda-bedakan tetapi tetap saling tergantung satu dengan yang lain.3

Pengertian kepribadian secara psikologis, sosiologi lebih menekankan pada kepribadian sebagai cermin dari suatu komunitas yang membedakan dia sebagai anggota masyarakatnya dari anggota masyarakat lainnya. Sedangkan psikologi lebih menekankan pada aspek perbedaan individu dengan individu lainnya. Kenyataan bahwa kepribadian kita tetap stabil atau konsisten dapat dilihat dari sikap toleran terhadap sesamanya, serta memahami dari apa yang diharapkan dari masing-masing pihak (Sumarjono, 2006: 255). Kepribadian kita akan tetap konsisten dan tidak lekas rusak seiring dengan bertambahnya umur. Meskipun ada sedikit perubahan-perubahan, tetapi perubahan itu sebagai akibat dari pengalaman kita.
Dalam istilah sehari-hari, kepribadian memiliki pengertian yang beraneka ragam dan sering digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, antara lain:
1. Peanampilan lahiriah, walaupun mungkin tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
2. Watak, karakter, sifat-sifat atau ciri-ciri khusus, yang membedakan seseorang dengan orang lain.
3. Individuality atau kedirian, yaitu menjadi sifat yang otonomi dan unik dari tiap-tiap orang.
4. Peran yang dimainkan seseorang dalam panggung kehidupan.4
Pengertian kepribadian dalam istilah sehari-hari tidak pernah lepas dari kepribadian seseorang yang meliputi penampilan lahiriah, watak, karakter, Ciri-ciri khusus, kedirian dan peran yang dimainkan dalam kehidupannya. Seseorang tidak akan lepas dari beberapa hal yang tersebut diatas, baik disadari ataupun tidak.
Kepribadian (personality) bukan sebagai bakat kodrati, melainkan terbentuk oleh proses sosialisasi Kepribadian merupakan kecenderungan psikologis seseorang untuk melakukan tingkah laku social tertentu, baik berupa perasaan, berpikir, bersikap, dan berkehendak maupun perbuatan. Definisi kepribadian menurut beberapa ahli antara lain sebagai berikut:
a) Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan system kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi.
b) M.A.W Bouwer
Kepribadian adalah corak tingkah laku social yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini dan sikap-sikap seseorang.
c) Cuber
Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang.
d) Theodore R. Newcombe
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku
Kata personality dalam bahasa inggris berasal dari bahasa latin: persone, yang berarti kedok atau topeng. Dimana hal ini selalu dipakai pada zaman romawi dalam melakukan sandiwara panggung. Lambat laun kata persona (personality) berubah istilah yang mengacu pada gambaran sosial tertentu yang diterima individu dari kelompok atau masyarakat.Sehingga kemudian individu diharapkan akan berperilaku sesuai dengan peran atau gambaran sosial yang diterimanya. Pengertian ini biasanya muncul dengan ungkapan seperti: “Didi berkepribadian pahlawan.” Atau “Dewi berkepribadian kartini sejati.”Disamping itu kepribadian sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut “tidak punya kepribadian”.
Dari penjelasan diatas bisa diperoleh gambaran bahwa kepribadian, menurut pengertian sehari-hari atau masyarakat awam, menunjuk pada gambaran bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu yang lainnya.Anggapan seperti ini sangatlah mudah dimengerti, tetapi juga sangat tidak bisa mengartikan kepribadian dalam arti yang sesungguhnya. Karena mengartikan kepribadian berdasarkan nilai dan hasil evaluatif. Padahal kerpibadian adalah sesuatu hal yang netral, dimana tidak ada baik dan buruk. Kepribadian juga tidak terbatas kepada hal yang ditampakkan individu saja, tetapi juga hal yang tidak ditampakkan individu, serta adanya dinamika kepribadian, dimana kepribadian bisa berubah tergantung situasi dan lingkungan yang dihadapi seseorang.
B. Kepribadian Menurut Psikologi
Pengertian kepribadian menurut disiplin psikologi bisa diambil dari rumusan beberapa teoris kepribadian terkemuka. Gordon Allport, merumuskan kepribadian adalah organisasi dinamis sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.Seperti yang dikisahkan Feist & Feist, Allport memilih tiap frase dalam mendefinisikan dengan hati-hati, sehingga benar-benar menyatakan apa yang ingin ia katakan.Istilah ”organisasi dinamis” menunjukkan suatu integrasi atau saling keterkaitan dari berbagai aspek kepribadian. Kepribadian merupakan sesuatu yang terorganisasi dan terpola. Bagaimanapun, kepribadian bukan suatu organisasi yang statis, melainkan secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.Istilah ”psikofisik” menekankan pentingnya aspek psikologis dan fisik dari kepribadian. Kata ”menentukan” dalam definisi kepribadian menunjukkan bahwa kepribadian ”merupakan sesuatu dan melakukan sesuatu”. Kepribadian bukanlah topeng yang secara tetap dikenakan seseorang; dan juga bukan perilaku sederhana. Kepribadian menunjuk orang di balik perilakunya atau organisme di balik tindakannya.
Dengan kata ”karakteristik” Allport ingin menunjukkan sesuatu yang unik atau individual. Kepribadian seseorang bersifat unik, tidak dapat diduplikasi (ditiru) oleh siapa pun. Kata ”perilaku dan pikiran” secara sederhana menunjuk pada sesuatu yang dilakukan oleh seseorang, baik perilaku internal (pikiran-pikiran) maupun perilaku-perilaku eksternal seperti berkata-kata atau tindakan.
Berdasarkan penjelasan Allport tersebut kita dapat melihat bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan. Meskipun mengalami perubahan, kepribadian merupakan karakteristik yang relatif stabil. Hal ini sesuai penjelasan Allport bahwa kepribadian merupakan sesuatu yang terorganisasi dan terpola.
C. Kepribadian Menurut Psikologi Islam
Salah satu ilmu yang berkembang pesat di dekade (masa sepuluh tahun) ini adalah psikologi. Ilmu yang menitikberatkan pada masalah kejiwaan, kini makin dibutuhkan. Apalagi saat ini banyak yang terganggu jiwanya, baik yang berkategori stres ringan maupun berat. Ilmu psikologi sangatlah penting bagi kehidupan, lebih-lebih terhadap anak didik kita. Untuk lebih mengetahui karakteristik seorang anak didik, hendaknya kita memperdalami ilmu psikologi terlebih dahulu atau ilmu yang berkaitan dengan anak didik.
Apakah psikologi mampu mendukung “kesehatan” agama, dan pada saat bersamaan menetapkan peranannya dalam mewujudkan kesehatan jiwa? Jawabannya: mungkin bila agama yang di maksud adalah agama yang benar, karena itulah, maka psikolog muslimlah Satu-satunya kalangan yang mampu menjadikan psikologi satu sarana untuk menetapkan kesehatan keyakinan beragama, dan dengan syariatnya mampu menumbuhkan kebahagiaan dan kesehatan jiwa5. Bila ilmu psikologi dianggap sebagai satu ilmu syar’i, maka hal itu akan menjelaskan pada manusia tentang definisi ilmu yang bermanfaat. Tak jarang orang yang bergelut dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri merusak niatnya karena tidak menjadikan ilmunya yang dimiliki bermanfaat bagi orang lain, dalam artian tidak mau mengajarkannya pada orang lain.
Dr. Yusuf Al-Qardawi mengatakan, harus dimunculkan kembali semangat keIslaman dan dibentuk lagi satu pribadi Islami yang memotivasi setiap individu untuk bisa mengaplikasikan syari’at Islam. Pribadi inilah yang dimaksud dengan “otak Islam” yakni yang berpikir dari sisi pandang Islam dalam memutuskan segala sesuatunya dan menyikapi semua peristiwa, individu dan keadaan, sebagaimana layaknya seorang muslim berinteraksi dengan apapun dan siapapun sesuai dengan konsep Islam”.6
Ilmu psiklogi bukanlah ilmu agama. Psikologi tidak membahas benar salahnya sebuah agama. Tidak juga membahas tentang tuhan, yang dikaji adalah gejala-gejala mental, pikiran dan prilaku manusia, baik dalam konteks individu mupun kelompok.7
Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian dan kejiwaan, antara lain mengenai pola-pola umum kepribadian, mngenai sifat-sifat atau ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain yang membedakan antara satu pribadi dengan pribadi yang lain, mengenai ciri-ciri kepribadian yang baik dan yang buruk, serta mengenai hal-hal yang berpengaruh pada pembentukan kepribadian.8 Al-Qur’an adalah kitab yang paling agung dan mulia beserta isinya, didalamnya terkandung keindahan bahasanya yang tiada tanding, walaupun ada di zaman dulu, salah satu orang non Islam yang ingin menayaingi keindahannya, tak ada kemampuan dalam dirinya, sehingga yang dihasilkan hanyalah sia-sia.
Jika anda benar-benar ingin menggerakkan dorongan kejiwaan pada orang lain, maka anda harus mengakui keberadaan mereka, melindungi mereka, mendorong mereka, dan menanyakan mereka tentang pendapat mereka pujilah mereka. Barangkali pendorong dan motif yang paling kuat dalam diri manusia adalah senyuman yang paling berkembang. Telah ditemukan secara ilmiah bahwa ungkapan wajah dapat berbicara dengan pengaruh lebih mendalam dibandingkan suara lidah. Senyuman itu seakan-akan berkata kepada anda, sebagai ganti dari pemiliknya bahwa saya menyenangi anda. Saya senang melihat anda. Jangan sangka bahwa yang saya maksud itu adalah sekadar tanda yang terbentuk di bibir. Tidak. Tapi, yang saya maksudkan adalah senyuman yang sebenarnya, yang datang dari kedalaman jiwa.9 Tidaklah salah kalau Yusuf Al-Uqshari mengatakan bahwa senyuman itu berpengaruh lebih mendalam dari suara lidah. Senyum adalah shadaqoh, sedangkan perkataan lidah belum tentu dikatakan sebagai shadaqoh, bahkan perkataan lidah dapat menyakiti orang yang paling kita cintai. Dalam pepatah Arab dikatakan yang artinya: “keselamatan seseorang terletak pada penjagaan lisannya”. Menurut Holzman dikutip A. Supratiknya (1995) menerangkan bahwa teori-teori tentang kepribadian yang tumbuh dari pengalaman budaya barat, secara agak kasar lazim dibedakan ke dalam tiga aliran besar berdasarkan pandangan falsafi tentang manusia yang melatarbelakangi.
Yang pertama adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dengan pribadi yang jahat. Tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya yang bersifat negatif atau merusak dan tidak didasari, seperti kecemasan dan agresi atau permusuhan. Maka agar berkembang ke arah yang positif manusia membutuhkan cara-cara pendampingan yang bersifat inpersonal dan direktif atau mengarahkan. Contoh khas teori yang beraliran demikian adalah psikoanalisis klasik Sigmund Freud. Dalam sejarah psikologi aliran pemikiran yang agak pesimistik ini dikenal dengan sebutan mazhab pertama.
Yang kedua adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan netral bagaikan “kertas putih”. Lingkunganlah yang akan menentukan arah perkembangan tingkah laku manusia lewat proses belajar. Artinya, perkembangan manusia bisa dikendalikan ke arah tertentu sebagaimana ditentukan oleh pihak luar (lingkungan) dengan kiat-kiat rekayasa yang bersifat impersonal dan direktif. Contoh khas pandangan ini adalah behaviorisme radikal B.F. Skinner. Dalam sejarah psikologi, aliran pemikiran yang deterministik ini disebut mazhab kedua.
Yang ketiga, adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar, bebas, dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawinya secara penuh. Agar berkembang ke arah yang positif, manusia tidak pertama-pertama membutuhkan pengarahan melainkan suasana dan pendampingan personal serba penuh penerimaan dan penghargaan demi mekarnya potensi positif yang melekat pada dirinya. Contoh khas pendirian teoritis semacam ini adalah teori humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers. Dalam sejarah psikologi, aliran pemikiran yang optimistik ini disebut Mazhab ketiga.
Ketiga mazhab filsafat tersebut memiliki implikasi yang berlainan dalam praktek pendekatan di berbagai bidang kehidupan sehari-hari seperti psikoterapi dan pendidikan.
Dalam literatur Psikologi Islam yang berkembang di dunia Islam, menurut analisis buku yang ditulis oleh pemerhati psikologi muda ini, menunjukkan adanya dilema baru yang cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak, teori-teori Psikologi Kontemporer Non-Islami yang netral etik dan antroposentris dijadikan kerangka acuan dalam mendiskripsikan dan menilai tingkah laku umat Islam yang sarat etik dan teosentris. Sikap inilah yang kemudian menjustifikasi statement Malik B. Badri bahwa “psikolog muslim kini berada dalam liang Biawak yang selit keluar darinya”.
Agar psikolog muslim dapat keluar dari belitan liang Biawak, buku ini menawarkan dua solusi; pertama, melakukan Islamisasi Psikologi, melalui mengkajian ulang khazanah Islam yang pernah jaya di masa lalu, baik dari sisi ontologis, epistimologis, dan aksiologis; dan kedua, Muslimisasi psikolog melalui penanaman sikap dan cara pandang bahwa apa yang datang dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pemikir-pemikir Islam itu lebih baik dari yang lain.
Melalui pendekatan psiko-spiritual-Islami, karya ini berusaha mengungkap salah satu aspek Psikologi Kepribadan Islam. Kajian yang dipilihnya terfokus pada konsep fitrah dan kaitannya dengan struktur kepribadian. Struktur fitrah yang tergambar dalam buku ini mampu menjangkau dimensi-dimensi transendental dan spiritual dalam kepribadian manusia, sehingga ketaatan terhadap ajaran Tuhan dan norma-norma agama bukan dianggap sebagai gejala neurosis, delusi, dan ilusi sebagaimana yang diteorikan oleh Freud dan Skinner.
Struktur fitrah dalam kepribadian manusia dibangun atas sistem dan daya-daya nafsani (psikopisik). Masing-masing komponennya berkemungkinan untuk mendominasi komponen yang lain. Apabila dalam pertarungan itu dimenangkan oleh daya nafsu (fitrah hawayaniah) maka akan membentuk kepribadian ammarah yang prinsip kerjanya mengejar kenikmatan (pleasure) duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsif dan primitifnya. Apabila dalam pertarungan itu dimenangkan oleh daya akal (fitrah insaniah) maka akan membentuk kepribadian lawwamah yang prinsip kerjanya tertumpuh pada kehidupan realistik dan rasionalitistik. Namun apabila pertarungan itu dimenangkan oleh kalbu (fitrah ilahiah) maka membentuk kepribadian muthmainnah yang prinsip kerjanya mengejar pada kehidupan akhirat dan pengabdian kepada Allah, seperti yang tercermin dalam enam karakter keimanan, lima karakter keislaman, dan multi karakter keihsanan.
Dalam pandangan islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, alq dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian, disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahirdari warisan gemetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari pengalaman masuk dalam stuktur kepribadian seseorang. Seorang muslim dengan kepribadian muslimnya yang prima, tidak bisa merasakan enaknya daging babi, meskipun ia dimasak dengan standar seleranya. Seseorang dengan kepribadian muslimnya yang prima juga tidak bias menikmati keindahan aurat yang terbuka. Demikian juga ia selalu terjaga dalam tidurnya yang nyenyak jika ia belum menjalankan salat isya. Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap oaring berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi dikala yang lain bias saja terdistorsi oleh pengaruh diluar keyakinan agamanya. Konseling agama misalnya adalah dimaksud untuk menghidupkan getaran batin iman dari orang yang sedang terganggu kejiwaan nya hingga kepribadian nya tidak utuh, agar dengan getaran batin iman itu system kerja nafsaninya bekerja kembali membentuk sinergi yang melahirkan perilaku positip. Dalam keadaan tertentu motivasi agama merupakan kekuatan yang sangat besar dalam menggerakan perilaku, sama halnya juga dalam keadaan tertentu, motivasi biologis (lapar misalnya) sangat besar pengaruhnya dalam tingkah laku manusia. Melalui puasa, qiyamullail, al wudlu, pembaca wirid yang konsisten sangat efektif dalam membangun kepribadian seseorang.
Membangun kepribadian muslim seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsikan sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang dasamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk kedalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak ( sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian buakn hanya aspek pengetahuan.

D. Kepribadian Menurut Islam (Syaksiyyah Islamiyah)
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam” (QS. 6:162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. 68:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS 2:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir).







BAB II
Pandangan dan Sikap Hidup Muslim
A. Pandangan hidup Islam dalam Thamarat Al-Muhimmah
Thamarat al-Muhimmah menghuraikan perkara-perkara yang berkaitan dengan raja (pemerintah) dan pemerintahannya serta menghuraikan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sifat-sifat tercela (mazmumah) seseorang pemerintah. Kandungan teks ini meliputi tiga bab dan beberapa fasa serta beberapa bahagian lain dan furuk.
Menurut Abu Hasan Sham, et.al. (1995) bahagian mukadimah teks ini membincangkan kelebihan ilmu dan menjadi kemurkaan Allah sekiranya pembesar ketandusan ilmu. Hukuman atau balasan yang setimpal akan dikenakan terhadap hambanya yang ingkar kepada kitab yang diturunkan oleh Allah. Secara tidak langsung ianya membawakan ingatan kepada golongan pemerintah (raja) betapa perlunya ilmu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesejahteraan pemerintahan sebagaimana yang terkandung dalam al-Quran dan hadith.
Thamarat al-Muhimmah adalah salah satu daripada karya Raja Haji Ali yang berbentuk ketatanegaraan. Nama penuh teks ini ialah Thamarat al-Muhimmah difayah li’l-Umara’, wa-’kubra’ li ahli’-Mahkamah yang bermaksud, "Buah-buahan yang dicita hal keadaan jadi jamuan bagi raja-raja dan bagi orang besar-besar yang mempunyai pekerjaan di dalam tempat ia berhukum".
Thamarat al-Muhimmah menghuraikan perkara-perkara yang berkaitan dengan raja (pemerintah) dan pemerintahannya serta menghuraikan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sifat-sifat tercela (mazmumah) seseorang pemerintah. Kandungan teks ini meliputi tiga bab dan beberapa fasa serta beberapa bahagian lain dan furuk.
Menurut Abu Hasan Sham, et.al. (1995) bahagian mukadimah teks ini membincangkan kelebihan ilmu dan menjadi kemurkaan Allah sekiranya pembesar ketandusan ilmu. Hukuman atau balasan yang setimpal akan dikenakan terhadap hambanya yang ingkar kepada kitab yang diturunkan oleh Allah. Secara tidak langsung ianya membawakan ingatan kepada golongan pemerintah (raja) betapa perlunya ilmu dalam usaha menegakkan keadilan dan kesejahteraan pemerintahan sebagaimana yang terkandung dalam al-Quran dan hadith.
Oleh itu, dalam membincangkan pandangan hidup Islam yang terpancar dalam teks ini huraian akan berdasarkan bab-bab dan fasal yang terkandung dalam teks tersebut.
Memasuki abad 21 umat Islam di negeri-negeri yang tertindas menerapkan strategi operasi istisyhadiyah. Istisyhadiyah artinya adalah mencari kamatian syahid, sebuah kematian mulia di sisi Allah Swt. Operasi ini membuat negara-negara barat kebingungan dan ketakutan yang luar biasa. Mereka berangapan bahwa karena umat Islam sudah sudah putus asa maka mereka melakukan tindakan kalap, bunuh diri. Bukan hanya orang Barat, bahkan sebagian umat islam pun memiliki pandangan serupa, dan ulama’nya menyerukan bahwa perjuangan dengan bunuh diri itu adalah haram.
Reaksi masyarakat Barat terhadap operasi istisyhadiyah di Palestina dan tempat-tempat lain secara jelas menunjukkan adanya perbedaan antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup mayoritas masyarakat Barat
Pandangan hidup Islam diderivasikan dari tiga sumber; al-Qur’an, Sunnah, serta pengetahuan dan keimanan bahwa hidup di dunia ini hanya sebuah etape, yang penuh dengan tantangan dan ujian menuju kehidupan akhirat yang lebih penting.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Jadi, pandangan hidup seorang muslim adalah pandangan ukhrawi, pandangan yang didasarkan kepada keputusan Allah, mengikuti jalan yang telah ditetukan oleh Allah. Pandangan ini adalah manifestasi dari al-Qur’an dan sunnah, yang bisa kita tempuh untuk meraih Jannah (sorga). Insya Allah.
Jadi, pandangan itu adalah keyakinan dan pengetahuan bahwa tiada tuhan selain Allah, hanya Allah saja lah yang memutuskan dan menentukan segala sesuatu; Dia saja lah yang bisa memberikan kemenangan atau kekalahan; Dia saja lah yang bisa memberikan keamanan dan kedamaian, dan Dia saja lah yang berhak menentukan garis jalan kehidupan kita. Singkat kata, keyakinan dan pengetahuan ini adalah esensi tauhid.
“Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (al-Anfal:18)
Tampak perbedaan yang sangat kontras antara pandangan hidup dunia Barat dengan pandangan hidup Islam. Pandangan hidup Dunia Barat adalah pandangan untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuraan materi; pandangan untuk mendapatkan rasa aman -baik secara personal maupun nasional- sehingga militernya boleh melakukan aksi offensif; pandangan yang meyakini bahwa setiap individu memiliki kebebasan memilih dan menentukan, atau membuat nasib mereka sendiri. Bahkan, dunia Barat meyakini bahwa hukum-hukum kemanusiaan dan sistem pemerintahan mereka dapat mendatangkan kebahagiaan, keamanan, kemakmuraan, yang mereka inginkan. Lebih dari itu, di Barat ada –di antara masyarakat atau bahkan pada pemerintahannya– meyakini bahwa mereka memiliki hak dan tugas untuk memaksakan hukum mereka, metode, dan sistem pemerintahan mereka terhadap suatu bangsa. Itulah, ada suatu sikap arogan yang terdapat pada sebagian kepercayaan Bangsa Barat, bahwa hukum-hukum kemanusaan dan metode mereka adalah superior.
Keyakinan Barat dan kebiasaan arogan ini, memiliki banyak bukti sejak serangan pada Jumadi Tsani. Di antaranya adalah intervensi Barat di Afghanistan, dimana kekuatan militer Barat telah digunakan untuk melumpuhkan pemerintahan Islam dan menyokong pemerintahan boneka pro-Barat. Bukti yang lain adalah adanya penangkapan daan pemenjaraan terhadap mujahidin di berbagai belahan dunia.
B. Mencari Syurga
Pandangan Islam adalah bukti utama dalam operasi syahid (istisyhad). Orang-orang yang melakukan operasi demikian benar-benar meyakini bahwa meraka melakukan sesuatu yang benar –menurut kriteria Islam (al-Qur’an dan Sunnah)– sebagaimana mereka berusaha, insya Allah, untuk mempraktekkan keyakinan Islam bahwa hidup ini adalah suatu kesempatan, suatu alat untuk meraih sorga. Itulah, kaum muslimin sebagaimana halnya mujahidin memahami bahwa Allah akan memberi balasan terhadap orang-orang yang melakukan praktek jihad; yang menyerahkan kehidupan dunianya untuk mendapatkan pahala.
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’:74)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali Imran:142)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda; ”Barangsiapa bertemu dengan Allah tanpa ada bekas jihad maka ia menemui Allah dan pada dirinya ada tandanya” [HR At-Tirmidzi]
Adalah suatu pernyataan jujur untuk mengatakan bahwa mayoritas orang Barat mengutuk operasi istisyhad atas dasar pandangan barat, menggunakan kriteria Barat. Sebab mereka salah dalam memahami keyakinan muslim bahwa hidup ini bagi kita hanyalah suatu alat, suatu ujian. Mereka juga salah dalam memahami bahwa kaum muslimin sudi mengorbankan kehidupan mereka untuk melaksanakan tugas Islam, penuh kepercayaan bahwa apa yang dilakukan oleh beberapa orang islam itu adalah keputusan Allah swt dan dilakukan dengan penuh harapan untuk mendapatkan balasan syurga.
Intinya, ini semua dapat diungkapkan dengan singkat kata; orang islam menempatkan kepercayaan terhadap Allah sebagai penguasa mutlak. Sedangkan bangsa Barat pada umumnya percaya kepada kekuatan sendiri, keyakinan mereka, keberanian mereka dan keinginan pemerintah mereka untuk melayani mereka dengan mewujudkan keamanan dan kesuksesan.
Bagi muslim, sesuatu yang paling penting adalah kehidupan akhirat; dengan melakukan sesutau yang menjadi kewajibannya kelak akan mendapatkan balasan pahala dari Allah, sehingga ada suatu kemungkinan untuk meraih sorga. Jadi, kehidupan makhluk saat ini –dengan dengan segala bentuk keamanan, kebahagiaan individu, kenikmatan, dan kesenangan duniawi– hanyalah bersifat sekunder. Apabila seorang muslim ditawari untuk memilih antara keamanan, kebahagiaan individu, kenikmatan, dan kesenangan duniawi ataukah sorga, maka seorang muslim akan memilih jannah (syurga)
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya , dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya , tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Dari Anas, dari nabi saw bahwasannya beliau bersabda: “tidak ada seoraang hamba pun yang mati lalu ia mendapatkan ganjaran yang baik masih menginginkan untuk dikembalikan ke dunia, padahal kalau dia kembali ke dunia akan mendapatkan dunia daan segala isinya; kecuali orang yang mati syahid, karena ia melihat keutamaan mati syahid maka ia ingin dikembalikan ke dunia lagi sehingga bisa teerbunuh sebagai syahid sekali lagi” [al-Bukhari dan Muslim]
Ini menunjukkan bahwa ada muslim, khususnya di barat, telah lupa bahwa kehidupan kita di atas planet yang bernama bumi saat ini hanyalah satu kesempatan –yang tidak akan kembali lagi– untuk mendapatkan kesempatan masuk ke dalam sorga, dan bahwa salah satu bekal terbaik untuk dapat masuk sorga adalah dengan berusaha keras, dan bila perlu jika mati di jalan Allah.
Pandangan hidup adalah cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang tertentu. Pandangan hidup mutlak keberadaannya bagi manusia, sebab tanpa pandangan hidup, manusia tak ubahnya seperti binatang tak berakal dan akan menjalani kehidupannya tanpa arah dan sikap yang jelas.
Pandangan hidup muslim adalah pandangan hidup Islam, yaitu cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang Islam. Ini terwujud dalam persepsi-persepsi (mafahim) Islam yang berupa pemikiran-pemikiran (afkar) dan hukum-hukum (ahkam) Islam, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Pandangan hidup ini menjadi standar untuk menilai berbagai fakta kehidupan dan menjadi pedoman bagi segala perilakunya dalam kehidupan.
Aqidah Islamiyah ini wajib dipahami secara akli, yakni melalui proses berpikir yang mendalam terhadap dalil-dalilnya. Setelah itu, wajib pula terjadi proses pembenaran secara pasti (tashdiq jazim) terhadap Aqidah Islamiyah yang telah dikaji, agar aqidah ini menjadi persepsi (mafhum), bukan semata pengetahuan (ma’lumat). Aqidah yang demikian, akan efektif dan fungsional sebagai dasar pandangan hidup. Tanpa proses pemahaman akli (al idrak) dan pembenaran (tashdiq) ini, Aqidah Islamiyah hanya akan menjadi pengetahuan belaka yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap cara pandang dan perilaku seorang muslim.
Pandangan hidup muslim antara lain terwujud secara konkret dalam bentuk berbagai tugas (kewajiban) yang harus dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang mahasiswa muslim, tugas utama yang wajib diembannya setidaknya ada 3 (tiga): Pertama, menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai mahasiswa yang aktivitas utamanya adalah belajar. Kedua, mengkaji Tsaqofah Islamiyah (ilmu-ilmu keislaman). Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim yang dengan sendirinya harus berpikir dan berperilaku secara Islami. Ketiga, mengemban dakwah Islamiyah. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim sebagai bagian dari keseluruhan umat Islam, yang harus mempunyai kepedulian terhadap keadaan umat dan harus berjuang untuk mengubah keadaan umat menuju keadaan yang lebih baik.
Manusia harus mempunyai pandangan hidup. Sebab, adanya pandangan hidup menunjukkan adanya proses berpikir, mengingat pandangan hidup itu diperoleh melalui jalan berpikir. Dengan kata lain, orang yang tidak punya pandangan hidup berarti tidak menggunakan akalnya. Dia telah kehilangan ciri utama kemanusiaannya dan anjlok derajatnya menjadi setara dengan binatang. Maka dia tak ubahnya seperti binatang yang tidak berakal, yang hidup hanya memperturutkan hawa nafsunya untuk memuaskan naluri dan tuntutan kebutuhan jasmaninya. Manusia seperti ini akan menjalani kehidupannya tanpa arah dan sikap yang jelas. Allah SWT berfirman:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Qs. al-Furqaan [25]: 43-44).
Namun demikian, bukan berarti orang yang mempunyai pandangan hidup otomatis akan menjalani kehidupan dengan benar. Sebab pandangan hidup itu ada yang benar dan ada yang salah. Bisa saja seseorang mempunyai pandangan hidup, tetapi pandangan hidup sekuler yang cenderung memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Tentu saja orang seperti ini bukanlah orang yang hidup dengan benar, melainkan orang yang sesat, karena ide sekulerisme adalah ide kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, jelas bahwa manusia memang harus mempunyai pandangan hidup, akan tetapi bukan sembarang pandangan hidup. Pandangan hidup yang dimiliki harus berupa pandangan hidup yang benar.
Bagi seorang muslim, pandangan hidup yang benar hanyalah pandangan hidup Islam semata, karena agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam saja. Agama-agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani adalah agama kafir, sebagaimana ideologi-ideologi selain Islam seperti Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi kafir. Semua agama dan ideologi selain Islam tidak akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 19).

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 185).
Seorang muslim wajib berpandangan hidup Islam, yaitu memandang segala sesuatu dari sudut pandang Islam. Kewajiban ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw ketika suatu saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Rasulullah. Saat itu orang-orang mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka berkatalah Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang.” (An Nabhani, 1963)

Dengan sabdanya itu, Rasulullah Saw telah membimbing cara pandang shahabat terhadap suatu fakta, yaitu menjadikan Islam sebagai standar berpikir untuk menilai segala sesuatu fakta. Rasulullah Saw telah mengarahkan pemikiran para shahabat untuk memandang bulan dan matahari serta segala sifat-sifatnya —seperti terjadinya gerhana pada keduanya— sebagai tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, bukan sebagai benda yang dipengaruhi atau mempengaruhi perjalanan nasib seseorang. Dengan kata lain, Rasulullah Saw telah menunjukkan cara memandang fakta (gerhana matahari) menurut sudut pandang Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 190).
Pandangan hidup Islam ini wajib dipahami oleh seorang muslim, lalu direalisasikan secara konkret dalam bentuk berbagai amal shalih dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pandangan hidup Islam, insya Allah seorang muslim akan dapat menjalani kehidupan secara sahih, yakni dapat memahami realitas kehidupan dengan perspektif yang benar, dapat bersikap dan bertindak secara tepat, serta tidak tertipu dengan ide-ide kufur yang merajalela di masyarakat dan tidak larut ke dalam realitas buruk yang tengah mencengkeram masyarakat.
C. Makna Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang tertentu. Yang dimaksud dengan “cara pandang”, adalah perspektif tertentu atau semacam “kacamata” tertentu yang dipakai untuk memandang realitas. Adapun “kehidupan” yang menjadi sasaran penilaian dari cara pandang itu, adalah segala sesuatu fakta yang ada dalam kehidupan, baik itu berupa sesuatu yang bersifat materi-empirik (al waqi’ al mahsus) —yaitu meliputi perbuatan manusia (af’al) dan segala benda yang dimanfaatkan manusia (asy-ya’)— maupun berupa sesuatu yang bersifat pemikiran, seperti ideologi, paham, dan sebagainya.
Karena pandangan hidup itu berupa sudut pandang tertentu, maka dengan sendirinya satu fakta yang sama mungkin saja akan dinilai secara berbeda sesuai perbedaan sudut pandang yang dipakai. Orang Islam tentu akan menolak mengkonsumsi daging babi, karena sudut pandang yang dipakainya adalah hukum syara’, yang menyatakan keharaman daging babi. Tapi bagi orang non-Islam, makan babi bukanlah masalah, karena sudut pandang yang dipakai adalah aspek kemanfaatan (utility).
Orang Islam pasti tidak akan setuju seks di luar nikah, karena dalam pandangannya, itu adalah zina yang jelas-jelas haram. Tapi bagi kaum sekuler yang liberal, kebebasan seks sah-sah saja karena dia telah menerima kebebasan (freedom/liberalism) sebagai standar penilaian perbuatan manusia. Bagi seorang muslim, ide demokrasi adalah ide kafir, karena demokrasi ide dasarnya adalah kedaulatan di tangan rakyat, atau dengan kata lain, hak membuat hukum adalah di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan. Sedang bagi kaum sekuler, demokrasi sama sekali bukan ide keliru, karena dia memandang bahwa peran Tuhan memang hanya dalam hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, sementara membuat hukum untuk mengatur kehidupan, menjadi hak manusia.
Bagaimana bentuk konkret dari pandangan hidup itu dan bagaimanakah sebuah pemikiran dapat menjadi pandangan hidup seseorang, atau dengan kata lain, bagaimana cara penanaman pandangan hidup pada jiwa seseorang?
Bentuk konkret dari pandangan hidup adalah pemikiran-pemikiran tentang kehidupan yang telah menjadi persepsi (mafahim) bagi penganutnya. Pemikiran-pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang telah mengalami 2 (dua) proses:
Pertama, adanya pemahaman terhadap fakta suatu pemikiran (idrak waqi’ al fikrah).
Kedua, adanya pembenaran (tashdiq) terhadap pemikiran tersebut (at tashdiq bi al fikrah) (An Nabhani, 1963).
Bila suatu pemikiran hanya dimengerti faktanya, tetapi tidak dibenarkan (tidak dianggap benar), maka ia hanya akan menjadi pengetahuan/informasi (ma’lumat) yang selanjutnya tidak akan memberikan dampak apa pun terhadap sikap dan perilaku seseorang. Lain halnya kalau setelah suatu pemikiran dimengerti faktanya lalu dibenarkan, maka pemikiran itu akan menjadi persepsi yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang. Misalnya, seorang orientalis non-muslim yang mempelajari hukum-hukum Islam (misalnya hukum sholat), tentu tidak akan menjadikan hukum-hukum Islam itu sebagai persepsinya, karena dia hanya akan mencoba mengerti bagaimana hukum-hukum Islam itu, tanpa melakukan pembenaran terhadapnya. Jadi bagi orientalis ini, hukum-hukum Islam hanya menjadi pengetahuan, bukan persepsi. Dia tetap akan pergi ke gereja, bukan ke masjid.
Lain cerita kalau yang mempelajari hukum Islam itu adalah seorang santri. Hukum-hukum Islam yang dikajinya bukan sekedar pengetahuan baginya, tetapi juga menjadi persepsinya. Setelah dia mempelajari hukum seputar sholat, misalnya, dia akan benar-benar mempraktikkannya, bukan sekedar dihafalkan. Ini dapat terjadi jika dia memberikan pembenaran terhadap hukum Islam yang dikajinya, setelah dia mengerti fakta hukum Islam itu.
Dengan demikian, jelas bahwa pandangan hidup bentuk konkretnya adalah berupa persepsi-persepsi (mafahim), yaitu pemikiran yang telah dijangkau faktanya dan dibenarkan oleh hati. Jelas pula bahwa cara penanaman pandangan hidup adalah dengan memahami fakta suatu pemikiran apa adanya, kemudian melakukan proses pembenaran terhadap pemikiran tersebut.
Bagaimana proses pembenaran dapat terjadi ? Proses pembenaran oleh hati akan terjadi, manakala akal telah mendapatkan dan menerima dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) yang mendasari suatu pemikiran. Proses pembenaran yang tidak didasarkan pada pemahaman dalil/argumentasi, hakikatnya adalah pembenaran yang semu atau pembenaran yang tidak mantap. Pemikiran yang hanya disertai dengan pembenaran semu ini, tidak akan kokoh tertancap dalam jiwa seseorang dan sangat mudah diguncang atau dicabut untuk digantikan dengan pemikiran-pemikiran lain.

D. Pandangan Hidup Islam dan Aqidah Islamiyah
Pandangan hidup muslim adalah pandangan hidup Islam, yaitu cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang Islam. Pandangan hidup ini bentuk konkretnya adalah persepsi-persepsi Islam yang berupa pemikiran-pemikiran (afkar) dan hukum-hukum (ahkam) Islam, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Disebut “terlahir dari Aqidah Islamiyah”, maksudnya adalah terlahir dari wahyu Allah berupa al-Qur`an dan As Sunnah, dimana masalah wahyu merupakan satu masalah dalam Aqidah Islamiyah. Dengan kata lain, jika suatu pemikiran atau hukum bersumberkan al-Qur`an dan As Sunnah, berarti pemikiran atau hukum itu dikatakan telah lahir atau terpancar dari Aqidah Islamiyah.
Ini adalah hubungan antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah secara konseptual. Paralel dengan hubungan ini, secara faktual ada pula hubungan konkret dalam diri seorang muslim antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah yang diyakininya. Keterikatan seorang muslim dengan pandangan hidup Islam tergantung pada kualitas pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Muslim yang memahami Aqidah Islamiyah dengan benar, cenderung akan kuat berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Sementara muslim yang memahami Aqidah Islamiyah secara tidak benar, cenderung tidak berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Mereka yang menerima Aqidah Islamiyah secara taqlid, atau yang mencampur-adukkan aqidahnya dengan paham-paham batil atau filsafat-filsafat kafir, cenderung meremehkan hukum-hukum Islam. Orang-orang Jawa abangan yang pikirannya campur baur antara ajaran kejawen dengan ajaran Islam, misalnya, seringkali enggan mengerjakan sholat. Ini berbeda dengan kalangan santri yang lebih baik pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Mereka sholat dengan taat.
Karena itu, Aqidah Islamiyah wajib dipahami dengan benar. Yaitu dengan menjadikan Aqidah Islamiyah itu sebagai persepsi (mafahim) bukan sekedar pengetahuan (ma’lumat). Prosesnya sama persis dengan proses mengubah pemikiran menjadi persepsi seperti telah diterangkan sebelumnya.
Jadi, Aqidah Islamiyah ini wajib dipahami secara akli, yakni melalui proses berpikir yang mendalam terhadap dalil-dalilnya. Setelah itu, wajib terjadi proses pembenaran secara pasti (tashdiq jazim) terhadap Aqidah Islamiyah yang telah dikaji, agar aqidah ini menjadi persepsi (mafhum), bukan semata pengetahuan (ma’lumat).
Aqidah yang demikian, akan efektif dan fungsional sebagai dasar pandangan hidup. Tanpa proses pemahaman akli (al idrak) dan pembenaran (tashdiq) ini, Aqidah Islamiyah hanya akan menjadi pengetahuan belaka yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap cara pandang dan perilaku seorang muslim.
Misalnya, keimanan bahwa “Muhammad adalah Rasulullah/utusan Allah” haruslah diperoleh secara akli, dengan menelusuri dalil akli yang mendasarinya, yaitu keberadaan mu’jizat al-Qur`an yang dibawanya. Mu’jizat merupakan bukti kenabian seseorang. Jika tak ada seorang pun yang dapat membuat semisal al-Qur`an, berarti benar al-Qur`an itu dari Allah. Benar bahwa al-Qur`an itu mu’jizat. Tidak ada yang membawa mu’jizat selain nabi. Berarti Muhammad itu adalah nabi dan rasul.
Jadi keimanan kepada kenabian Muhamad di sini lahir dari proses penalaran yang sahih, tidak diperoleh secara taklid buta, misalnya dengan berpikir bahwa pokoknya Muhammad itu Nabi. Titik. Dalil “pokoknya” bukan cara berpikir yang benar.
Keimanan yang mantap akan kenabian Muhammad ini —yang muncul karena proses berpikir— akan membuat seorang muslim merasa mantap pula menerima apa saja risalah Islam dari Rasulullah Saw, walaupun itu tidak sesuai dengan selera atau kepentingan pribadinya. Di antara risalah itu adalah firman Allah SWT:

“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah itu. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Dari sinilah, seorang muslim akan menerima dan melaksanakan dengan ridha apa saja hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dia akan menerima kewajiban shaum sebagaimana dia menerima kewajiban jihad, akan menerima kewajiban zakat sebagai dia menerima kewajiban potong tangan bagi pencuri, akan menerima kewajiban menegakkan sholat sebagaimana dia menerima kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah (Negara Islam).
Dari sini pula, seorang muslim akan dengan mantap menolak (mengingkari) segala macam pandangan hidup yang tidak dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Karena jika “apa saja” yang dibawa oleh Nabi harus kita terima, maka kebalikannya (mafhum mukhalafah), “apa saja” yang tidak dibawa oleh Nabi Saw, maka harus kita tolak, tidak boleh kita terima.
Maka seorang muslim akan menolak agama Yahudi sebagaimana dia menolak ideologi Sosialisme-Komunisme. Dia pun akan menolak agama Kristen sebagaimana dia menolak ideologi Kapitalisme-Demokrasi. Semua ideologi dan paham kafir ini wajib ditolak karena tidak dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang berada di dalam rahim itu tidak beribadah?
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:
Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’buduun.
“Tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang sedang lapar.
E. Tujuan Ibadah
Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah). Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua, untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain adalah untuk meraih kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan juga akan semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.
Rasulullah mengatakan, “Orang yang paling gampang masuk surga adalah orang kaya yang mau bersedekah.”
Mendengar itu, seorang sahabat berkata, “Ya Rasul, bagaimana kalau saya ini tidak kaya?”
Rasulullah kemudian menanyakan kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu memiliki kurma?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau kamu memang memiliki kurma, maka bagi dua-lah kurma tersebut. Setengahnya sedekahkan kepada orang lain, sedangkan setengahnya lagi untukmu. Setengah yang kamu bagikan kepada orang lain tersebut akan mengantarkan kamu untuk masuk surga bersama orang kaya yang suka bersedekah,” perjelas Rasulullah kepada sahabat tersebut.
Lalu ada lagi sahabat yang bertanya ketika itu, “Ya Rasul, saya tidak kaya dan tidak punya kurma. Kalau seperti ini, berarti saya susah masuk surga?”
Lalu Rasulullah bertanya kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu mempunyai air satu gelas?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau begitu, yang satu gelas tersebut kamu bagi dua. Setengahnya untuk kamu, sedangkan setengahnya lagi kamu sedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Maka setengah yang kamu sedekahkan kepada orang lain itu akan mengantarkan kamu masuk surga bersama orang yang punya kurma yang dibagi dua tadi, dan juga bersama dengan orang kaya yang suka bersedekah.”
Lalu ada lagi yang bertanya, “Ya Rasul, saya ini tidak kaya, tidak punya kurma, dan juga tidak punya air satu gelas. Kalau begitu saya ini akan susah masuk surga?”
Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Kalau kamu tidak mempunyai ketiga-tiganya itu, maka sedekahkanlah kepada saudaramu kalimat-kalimat yang baik, nasihat-nasihat yang baik, serta ucapan-ucapan yang baik.”
Nabi juga pernah mengatakan, “Hak seorang muslim itu adalah untuk didatangi pada saat ia sakit.” Jika itu adalah hak seorang muslim, maka muslim yang lainnya berkewajiban untuk mendatangi muslim yang sedang sakit tersebut.
Lalu Nabi juga pernah mengatakan, “Ketika kalian mendatangi orang yang sedang sakit, coba usap-usaplah dia dengan mengatakan, bersabarlah, karena ini ujian Allah.” Jadi, kita tidak perlu merasa berat untuk mendatangi dan menjenguk orang yang sedang sakit jika kita sedang tak memiliki apa-apa. Karena kita menjenguknya itu dalam rangka “kalimat thayyibah” kepada mereka yang sakit itu. Patut juga diketahui, kadang kala orang yang sakit itu kemudian menjadi sembuh lebih dikarenakan motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Semua kenikmatan itu diberikan oleh Allah karena kita diberikan kedudukan sebagai khalifatullah. Khalifatullah yang sangat efektif adalah khalifatullah yang menyadari dirinya, bahwa semua kenikmatan yang ada sekarang ini adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah, dan kita mensyukurinya hanya dengan jalan beribadah kepada-Nya.
Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:
1. Membina diri dengan baik.
Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah.
Mendidik dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai ibadah.
2. Dalam rangka mensucikan diri kita.
Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga, membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.
3. Mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.
Yang harus dijaga tersebut ada empat hal:
1. Menjaga hubungan baik dengan diri sendiri.
2. Menjaga hubungan dengan sesama manusia.
3. Menjaga hubungan dengan lingkungan.
4. Menjaga hubungan dengan Allah.
Yang harus dihindari tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.
Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian penciptaan kita itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka menjaga empat hubungan tadi dan menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut menjadi manusia yang muttaqin sejati.
Jadi, kalau kita ingin mendapatkan predikat orang yang bertaqwa sejati, maka sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah yang harus kita laksanakan. Orang yang bertakwa secara sejati, maka akan ada keseimbangan di dalam hidupnya. Dia selalu menjaga hubungannya dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya.
Kalau manusia sudah seperti itu, pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di dalam tasawuf, manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil, yaitu manusia yang sudah mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai derajat Rasulullah Muhammad SAW. Derajat para Nabi yang dimaksud adalah derajat dalam hal amal ibadah, bukan sebagai Nabinya.
Semoga kita menjadi manusia yang menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, dan juga sebagai hamba yang harus beribadah kepada-Nya, dan kita bercita-cita agar kita menjadi manusia yang mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
F. Sikap hidup islam Oleh: Nafîsah M. Ridwan
Baitijannati – Sikap hidup seseorang sangat ditentukan oleh cara pandang mendasar yang dimilikinya tentang kehidupan. Sebagai seorang muslimah, yang telah meyakini aqidah Islam, sudah seharusnya ia senantiasa memiliki kesadaran penuh bahwa keberadaan dan eksistensi dirinya, alam semesta yang ditempatinya serta kehidupan yang dijalaninya di dunia ini bukan terjadi dan berjalan dengan sendirinya. Semua itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia-lah sebagai “Subyek Pengendali” segala sesuatu yang berlangsung di alam semesta ini.
Dengan demikian seorang muslimah akan senantiasa menyadari bahwa posisinya di dunia ini adalah sebagai seorang hamba yang tunduk pada aturan Allah SWT sebagai Khaliqnya. Selanjutnya ia pun meyakini bahwa hanya Allah SWT yang harus ditaati dan disembah, dan hanya keridloan-Nya lah yang harus digapai dalam kehidupan ini.
Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat yang menjadi ikrar setiap muslim (maupun muslimah) yang dibacakan dalam setiap sholatnya:
“Tidak ada Tuhan (yang disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.“
Lâillâha illallah baik secara lughowi maupun syar’i adalah Lâ ma’budda illallah (Tidak ada yang disembah kecuali allah). Artinya, seorang muslim/muslimah) yang telah mengikrarkan kalimat syahadat di atas harus mewajibkan dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Cara pandang khas ini merupakan cara pandang yang dilandasi oleh aqidah islamiyah. Demikian juga, seluruh pemikiran-pemikiran cabang yang ada saat ini pun harus dibangun di atas landasan aqidah Islamiyah.11
G. Aqidah Islam Sebagai Pijakan Berfikir dan Bertindak
Ketika seorang muslimah mengambil Islam sebagai Aqidahnya maka sudah seharusnya ia senantiasa menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar kehidupannya. Ia pun harus memahami bahwa karakter aqidah islam adalah aqidah ruhiyah dan aqidah siyasiyah. Sehingga ia senantiasa menjadikan aqidah Islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak.
Tak satu pun pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan kecuali berangkat dan berstandar hanya pada aqidah Islamiyah. Demikian juga ketika bertindak atau bersikap maka tak satu pun tindakan atau pun sikap yang ia tunjukkan kecuali berstandar pada hukum syara’ yang terpancar dari aaqidah islamiyah tersebut.
Seorang muslimah tidak akan merasakan dirinya hidup kecuali di atas pijakan Aqidah islamiyah. Bahkan sulit baginya untuk melepaskan diri dari ikatan Aqidah Islamiyah. Dengan demikian ketika nilai-nilai asing datang dan berusaha menyusup ke alam kehidupannya maka ia tiada ragu dan sungkan untuk menolaknya bahkan semaksimal mungkin berusaha mengikis “virus” tersebut dari kehidupannya.
Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk mengambil atau mengakomodasi nilai-nilai asing termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai demokrasi. Karena ia menyadari bahwa nilai-nilai tersebut adalah racun yang membahayakan bagi diri dan umatnya. Ia menyadari bahwa jika mengambil apalagi meminum racun tersebut sama saja dengan melakukan upaya bunuh diri.
Seorang muslimah tak pernah sedikitpun tergiur oleh bujuk rayu pemikiran-pemikiran asing yang bermaksud menyeretnya. Ia tak pernah bergeming sedikit pun oleh bujukan materi ataupun manfaat yang disuguhkan dihadapannya. Untuk meneguk setetes pun, tak kuasa ia melakukannya. Karena ia sadar bahwa semua itu hanyalah tipu daya yang akan membawa dirinya pada jurang kesengsaraan dan kesesatan. Sehingga ia semakin berusaha untuk memperkuat aqidahnya. Ia pun tak melupakan apa yang telah menjadi firman Allah SWT dalam Qs. al-Baqarah [2]: 256 :
“…Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan jalan yang salah. karena itu barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…”
Dalam kondisi apapun seorang muslimah yang menjadikan aqidah Islam sebagai pegangan hidupnya akan tetap pada pendirian untuk mengambil hanya satu standar nilai dalam hidupnya. Sekalipun ia harus mengorbankan harta, jiwa dan raganya ia akan tetap memilih jalan hidup yang hakiki. Baginya hidup yang hakiki bukan untuk memperoleh materi ataupun manfaat, akan tetapi hidup yang hakiki adalah meraih kemuliaan di sisi Al-Khaliqnya. Ia pun sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meraih kemuliaan hanyalah dengan menjadikan Aqidah islamiyah sebagai standar baku dalam kehidupannya.
Pada saat seorang muslimah menjadikan aqidah islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak itulah dikatakan ia telah menemukan jatidirinya, sebagai sosok pribadi muslim. Yakni sosok kepribadian yang khas, yang murni dan istimewa, tidak tercampur sedikit pun oleh nilai-nilai asing.
Begitulah seharusnya seorang muslimah. Ia senantiasa memegang idealisme Islam dengan kuat. Ia pun optimis bahwa idealisme Islam yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan m,anusia.
Bukan tabiat seorang muslimah hidup dengan konsep individualisme. Sebaliknya ia senantiasa menempatkan dirinya menjadi bagian dari umat islam yang lain. Karenanya ia tak lupa dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
“Kamu akan melihat orang-orang yang beriman saling berkasih sayang, saling mencintai, saling mengasihi yaitu bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota saja sakit, maka tertariklah bagian anggota yang lain ikut sakit dengan tidak dapat tidur dan badan panas.” [HR. Bukhari Muslim].
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan barangsiapa yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasehat bagi Allah dan rasulNya, bagi kitabNya, bagi pemimpinnya dan bagi umumnya kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka.” [HR. ath-Thabrani].
Oleh karena itu seorang muslimah tak akan pernah tinggal diam ketika melihat nilai-nilai asing yang membahayakan bagi saudara-saudaranya (umat Islam yang lain). Ia tak bisa berdiam diri melihat fakta yang demikian. Ia akan senantiasa berusaha menyadarkan umat islam untuk senantiasa waspada terhadap nilai-nilai asing yang membahayakan bagi kehidupan mereka.
Ia bagaikan pembawa pelita penerang jalan, pembawa penjelas antara yang haq dan yang bathil, sebab ia adalah generasi penerus penyampai risalah Rasulullah SAW. Ia menjadi penuntun orang-orang yang meminta petunjuk ke arah jalan kebenaran. Dirinya sarat dengan bejana-bejana ilmu dan aqalnya ibarat khazanah-khazanah hikmah. Ia tak akan pernah merelakan masyarakat (umat Islam) dijauhkan dari nilai-nilai Islam. Ia pu tak rela masyarakat berada di bawah pengaruh orang-orang tak berilmu yang dengan mudah memberikan fatwa untuk menerima kebathilan. Dengan demikian keberadaan dirinya senantiasa dibutuhkan umat Islam.
Untuk menjadi muslimah yang demikian tentulah sangat tidak cukup hanya menjadikan Aqidah Islamiyah sebatas ucapan lafadz-lafadz. Akan tetapi haruslah berusaha menjadikan aqidah tersebut sebagai standar baku bagi kehidupannya dan memahami konsekuensinya. Sehingga ia pun memiliki kepedulian yang tinggi untuk memelihara nilai-nilai Islam yang ada dalam dirinya dan nilai-nilai Islam yang ada dalam diri umat Islam pada umumnya.
Nilai-nilai asing yang membahayakan dirinya ia pahami membahayakan pula bagi uamatnya. Demikian pula nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya ia pahami pula membahayakan bagi dirinya. Hingga ia pun senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi untuk memelihara diri dan umatnya dari kontaminasi racun-racun dunia. Ia pun dengan lantang akan mengatakan racun adalah racun, madu adalah madu. Kebenaran adalah kebenaran, kebathilan adalah kebathilan. Tak pernah ia membungkus kebathilan dengan sesuatu agar tampak baik dihadapan umat Islam. Bahkan tanpa segan membongkar keburukan nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya dengan sejelas-jelasnya, untuk kemudian menunjukkan al haq yang sesungguhnya, tanpa ragu dan bimbang. Demikianlah seharusnya seorang muslimah bersikap peduli terhadap umat Islam. Kepeduliannya terhadap umat islam adalah kepeduliannya terhadap islam sebagai dien yang dianutnya.











BAB III
Tujuan Hidup Seorang Muslim

Setiap orang yang mendalami Al-Qur'an dan mempelajari Sunnah tentu mengetahui bahwa puncak tujuan dan sasaran yang dilakukan orang Muslim yang diwujudkan pada dirinya dan di antara manusia ialah ibadah kepada Allah semata.
Tidak ada jalan untuk membebaskan ibadah ini dari setiap aib yang mengotorinya kecuali dengan mengetahui benar-benar tauhidullah.
Da'i yang menyadari hal ini tentu akan menghadapi kesulitan yang besar dalam mengaplikasikannya. Tetapi toh kesulitan ini tidak membuatnya surut ke belakang. Sebab setiap saat dakwahnya menyerupai perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Artinya : Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang paling menyerupai (mereka) lalu yang paling menyerupainya lagi."
Bagaimana tidak, sedang dia selalu meniti jalan beliau, menyerupai sirah-nya dan mengikuti jalannya? Al-Amtsalu tsumma al-amtsalu adalah orang-orang shalih yang mengikuti jalan para nabi dalam berdakwah keapda Allah, menyeru kepada tauhidullah seperti yang mereka lakukan, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menyingkirkan syirik. Mereka mengahadapi gangguan dan cobaan seperti yang dihadapi para panutannya, yaitu nabi-nabi.
Bagaimanapun juga kami merasa perlu mengatakan para da'i, bahwa meskipun mereka tetap harus menyaringkan suaranya atas nama Islam, toh mereka tetap harus mengasihi dirinya sendiri. Karena mereka keluar dari manhaj Allah dan jalan-Nya yang lurus dan jelas, yang pernah dilalui para nabi dan para pengikutnya dalam berdakwah kepada tauhidullah dan memurnikan agama hanya bagi Allah semata. Apa pun usaha yang mereka lakukan untuk kepentingan dakwah, toh mereka tetap harus memikirkan sarananya sebelum tujuannya. Sebab berapa banyak sarana yang remeh justru membahayakan tujuan yang hendak dicapai dan justru menjadi pertimbangan yang besar.
Bahkan banyak da'i yang memaksakan cara yang mereka ciptakan sendiri dan tidak mau mengikuti manhaj para nabi dalam berdakwah kepada tauhidullah di bawah slogan-slogan yang serba gemerlap, tapi akhirnya hanya memperdayai orang-orang bodoh, sehingga mereka menganggapnya sebagai manhaj para nabi.
Karena Islam mempunyai beberapa cabang dan pembagian, maka harus ada penitikberatan pada masalah yang paling penting, lalu disusul dengan yang penting lainnya. Pertama kali dakwah harus diprioritaskan pada penataan akidah. Caranya menyuruh memurnikan ibadah bagi Allah semata dan melarang menyekutukan sesuatu kepada-Nya. Kemudian perintah mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, seperti cara yang dilakukan semua para nabi. Firman Allah.
"Artinya : Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja) dan juahilah thaghut'." [An-Nahl : 36]
"Artinya : Dan, Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." [Al-Anbiya' : 25]
Dalam sirah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan cara yang diterapkan beliau terkandung keteladanan yang baik serta manhaj yang paling sempurna. Hingga beberapa tahun beliau hanya menyeru manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum menyuruh mendirikan sholat, melaksanakan zakat, puasa, haji, dan sebelum melarang mereka melakukan riba, zina, pencurian dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.
Anda bisa melihat berapa banyak para da'i Muslim dan jama'ah-jama'ah Islam yang menghabiskan umurnya dan menghabiskan energinya untuk menegakkan hukum Islam atau menuntut berdirinya negara Islam. Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa tegaknya hukum Islam tidak akan terwujud dengan cara seperti itu. Tujuan itu tidak akan terealisir kecuali dengan suatu manhaj yang dilakukan secara perlahan-perlahan, memerlukan waktu yang panjang, dilandaskan kepada kaidah yang jelas, harus dimulai dari penanaman akidah dan menghidupkan pendidikan Islam serta menekankan masalah akhlak. Jalan yang perlahan-lahan dan panjang ini merupakan jalan yang paling dekat dan paling cepat yang bisa ditempuh. Sebab untuk bisa mengaplikasikan tatanan Islam dan hukum syariat Allah bukan merupakan tujuan yang bisa dilakukan secara spontan dan tergesa-gesa. Karena hal ini tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan merombak masyarakat, atau adanya sekumpulan orang yang berkedudukan dan berbobot di tengah kehidupan manusia secara umum yang siap memberikan pemahaman akidah Islam yang benar, baru kemudian melangkah kepada pembentukan tatanan Islam, meskipun harus menghabiskan waktu yang lama.
Oleh karena itu banyak para da'i yang menjauhi jalan yang sulit dan penuh rintangan ini. Sebab seoarang da'i yang meniti jalan itu akan menghadapi ayah, ibu, saudara, rekan-rekan, orang-orang yang dicintainya, dan bahkan dia harus menghadapi masyarakat yang merintangi, memusuhi dan menyakitinya.
Lebih baik mereka menyingkir ke sisi-sisi Islam yang sudah mapan, yang tidak dimusuhi orang yang beriman kepada Allah. Di dalam sisi-sisi ini mereka tidak akan menghadapi kesulitan, kekerasan, ejekan, dan gangguan, khususnya di berbagai masyarakat Islam. Biasanya mayoritas umat justru mau memandang da'i seperti ini, menyanjung dan memuliakannya dan tidak mengejek atau pun mengganggunya, kecuali jika mereka menentang para penguasa dan mengancam kedudukan mereka. Kalau seperti ini keadaannya, tentu para penguasa ini akan menumpas mereka dengan kekerasan, sebagaiman menumpas partai politik yang hendak mengincar kursi kekuasaannya. Sebab, para penguasa dalam masalah ini tidak bisa diajak kompromi, baik mereka itu kerabat atau pun rekan, baik orang Muslim maupun orang kafir.
Kesimpulannya, menerapkan hukum-hukum syariat, menegakkan hudud, mendirikan pemerintahan Islam, menjauhkan hal-hal yang diharamkan dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan, semuanya merupakan penyempurna tauhid dan penyertanya. Lalu bagaimana mungkin penyertanya mendapat prioritas utama, sedangkan pangkalnya diabaikan? Jadi, keahlian seorang da'i yang paling penting adalah ilmu pengetahuan.
Orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW berada di atas jalan yang satu ini dan tidak saling berselisih. Tapi orang-orang yang tidak mengikuti beliau tentu saling berselisih. Firman Allah.
"Artinya : Dan, bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya." [Al-An'am : 153]
Jadi tauhid merupakan titik tolak dakwah kepada Allah dan tujuannya. Tidak ada gunanya dakwah kepada Allah kecuali dengan tauhid ini, meskipun ia ditempeli dengan merk Islam dan dinisbatkan kepadanya. Sebab semua rasul, terutama dakwah penutup mereka, Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimulai dari tauhidullah dan sekaligus itu pula tujuan akhirnya.
Setiap rasul pasti mengatakan untuk pertama kalinya seperti yang dijelaskan Allah.
"Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya." [Al-A'raaf :59 ][3]
Ini merupakan tujuan hidup orang Muslim yang paling tinggi, yang untuk itulah dia menghabiskan umurnya sambil mengusahakannya di tengah kehidupan manusia dan menguatkannya di antara mereka.
Khaliq yang telah menyediakan apa-apa yang menunjang kemaslahatan kehidupan dunianya, Dia pula yang menetapkan syariat agama bagi mereka dan menjaga kelangsungannya. Allah selalu menjaga Islam, karena Islam itulah tujuan dari diciptakannya dunia bagi manusia, lalu mereka diberi kewajiban untuk beribadah dan menguatkan tauhid.
Suatu hari salah seorang rekan kita bertanya, “apa tujuan hidupmu?”. Pertanyaan yang terdengar klise dan mudah sekaligus sulit untuk dijawab. Ya! Sangat sulit dijawab karena dianggap sebuah ancaman oleh orang yang tak memaknai hidup, namun bagaikan pancaran energi bagi orang yang memahami esensi kehidupan ini. Hidup tanpa tujuan ibarat kata tanpa huruf, tata surya tanpa bintang dan dunia tanpa kutub.
Apapun tujuan hidup kita, itu akan mewarnai hari-hari kita dan menentukan langkah kita kedepannya. Baik atau buruk tujuan hidup orang tersebut, tujuan hidup akan memberikan kesan yang mendalam dalam melakukan perbuatan sehari-hari.

BAB IV
Faktor-Faktor Pendukung dalam Pembentukan Kepribadian.

Orang yang memiliki kepribadian yang berani dan berpengaruh merupakan orang yang paling mampu mengambil pelajaran dari kegagalan-kegagalan yang telah lewat, seperti halnya ia juga mampu mengambil pelajaran dari kesuksesan yang pernah ia raih. kegagalan yang pernah ia alami tidak menjadikannya putus asa dan mengendorkan semangatnya, karena ia adalah kepribadian yang berani dan teguh seperti halnya kesuksesan yang pernah ia raih tidak menjadikannya bersikap sombong dan berpangku tangan, malas-malasan, dan tidak mau lagi meneruskan usaha dan kerja kerasnya yang dahulu ia pernah lakukan.12 Dalam hal ini, kepribadian yang berani dan berpengaruh sangatlah penting dalam kehidupan, agar senantiasa menjadi orang yang berpengaruh, bukan menjadi orang yang dipengaruhi atau terpengaruh pada orang lain.
Faktor pendukung dalam kepribadian yang berani dan berpengaruh ini dapat berlangsung secara formal dan informal, dikatakan formal apabila faktor tersebut berjalan secara teratur, sistematis, dilengkapi dengan nilai-nilai dan norma-norma yang tegas, yang harus ditaati dan dilakukan dengan sengaja dan sadar. Sedangkan informal tersebut berlangsung tanpa sengaja melelui interaksi (pengaruh timbul balik) pergaulan yang tak resmi.
Adapun faktor-faktor pendukung kepribadian dan peranannya dalam diri manusia, dari sejak lahir hingga ia dipanggil keharibaan sang pencipta maha kuasa, itu perlu kita ketahui, di antaranya:
1. Keluarga
Keluarga termasuk faktor pendukung pembentuk kepribadian primer (yang pertama) dan informal, dan berlangsung sejak manusia lahir. Keluarga mempunyai peran yang sangat penting yaitu:
a) Tempat anak belajar keterampilan dasar, pengetahuan sederhana, nilai-nilai dan norma pergaulan sederhana, seperti belajar bicara, cara bergaul dengan keluarga, cara menghormati orang tua dan lain-lain.
b) Pemberi fasilitas dan kebutuhan jasmaniyah anggota keluarga, seperti sandang, pangan, biaya pendidikan dan lain-lain.
c) Pemberi fasilitas kebutuhan rohaniyah manusia seperti pendidikan agama, intelektual, akhlak dan lain-lain.
d) Pendidikan kepribadian manusia.

2. Sekolah
Sekolah termasuk faktor formal dan sekunder, karena itu sekolah sebagai salah satu faktor pendukung yang berperan sebagai lembaga pendidikan resmi yang selain mentransformasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.
3. Peer-group (teman sepermainan)
Kelompok permainan termasuk faktor informal sekunder, peranannya dimulai sejak manusia berusia sekitar 4-5 tahun. Faktor ini berperan sebagai alat anak belajar mematuhi aturan-aturan yang berlaku dikelompoknya. Pada anak yang mulai menginjak remaja, pengaruh teman sepermainan sangat berpengaruh dan kuat sekali. Sehingga bila ada norma yang bertentangan dengan norma rumah tangga, seorang anak remaja cendrung memilih norma yang ada dikelompoknya. Karena itulah kelompok sepermainan ikut mengambil peran yang sangat kuat dalam pembentukan kepribadian anggotanya.
4. Media Masa
Media masa adalah penyampaian informasi, pengetahuan dan pesan-pesan yang banyak, yang memiliki aturan norma-norma sendiri: misalnya pers, Koran, televisi, radio, faksimil, internet dan lain-lain. Ia berperan dalam:
a) Menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa.
b) Menghidupkan industri lain yang terkait.
c) Menciptakan kontrol yang kuat dalam memajukan masyarakat.
d) Menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat lokal, regional, nasional dan internasional.
e) Menciptakan wahana pengembangan kebudayaan baik dalam pengertian seni, pengetahuan, simbol maupun pengertian nilai dan norma.
f) Memberikan sumber yang dominan kepada individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial.
g) Menyediakan dan menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
5. Lingkungan Kerja
Peranan di lingkungan kerja dapat berupa proses belajar nilai dan norma yang berlaku di dalamnya. Baik mengenai tata nilai hubungan seteman kerja, dengan atasan maupun dengan bawahannya. (Dhofir, 2000: 25-26) Selain lima media tersebut, masih banyak lagi yang lain seperati pramuka, Kelompok-kelompok penyalur bakat, partai politik, organisasi sosial dan lain-lain.
Adapun faktor-faktor pembentukan kepribadian terbentuk melalui proses pembentukan yang panjang dan sangat di tentukan oleh faktor-faktor berikut:
1) Hereditas (warisan biologis). Sebagai warisan dari orang tua, hereditas meliputi sistem urut syarat sentral, emosi, perangai (temperamin), intelejensi (kecerdasan) dan bakat (talent).
2) Lingkungan alam (lingkungan geografis), seperti lingkungan partai, pegunungan, beriklim panas, beriklim dingin dan lain-lain.
3) Lingkungan budaya (lingkungan kultural), budaya kota dan desa, agraris dan industri, kebudayaan setempat, (Sunda, Madura, Minangkabau dan lain-lain).
4) Lingkungan sosial, seperti lingkungan kaya dan miskin, masyarakat heterogen dan homogen, yatim dan tidak yatim, masyarakat pinggiran, kota dan tengah kota, lingkungan bersaudara tunggal dan bersaudara banyak dan lain-lain.13

Faktor yang berbeda-beda ini akan menimbulkan kepribadian yang berbeda-beda pula. Kepribadian yang berbeda-beda tidak akan berpengaruh pada kelangsungan hidup seseorang, karena perbedaan atau ikhtilaf itu adalah hikmah, dari perbedaan atau ikhtilaf, manusia akan memetik hikmah dari suatu perbedaan tersebut.


A. Al-Hadits Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim yang Sejati.
Adapun ciri-ciri seorang muslim yang sejati sebagai berikut:
a) Menghargai diri sendiri.
Sikap menghargai diri sendiri adalah salah satu sikap yang harus ada dalam diri manusia, karena apabila kita menghargai diri kita sendiri, maka orang lainpun akan menghargai dan menghormati kita, dan begitu juga sebaliknya. menghargai dan menghormati diri sendiri juga berarti menjauhi sikap-sikap tercela dan tidak pantas, menjauhi sikap guyon dan bercanda yang berlebihan. Dalam menghargai dan menghormati diri sendiri, hedaknya tidak diikuti dengan kesombongan, akan tetapi, hendaknya tetap sebagaimana mestinya, rendah hati, sopan dan suka memberi maaf kepada orang lain sebelum dimintai maaf
b) Berkata jujur dan berterus terang.
Orang tidak mau mengungkapkan pendapatnya pada orang lain, hidupnya akan gelisah, tidak tenang, bahkan selalu memikirkan apa yang akan diungkapkan pada orang lain. sikap jujur dan berterus terang ini merupakan salah satu tanda orang yang mempunyai ketinggian harga diri dan kemauan yang keras. Berkaata jujur dan berterus terang sangatlah mahal harganya. Karena manusia di dalam hidupnya sering kali berdusta, tetapi ia tidak menyadarinya. Tidak salah kalau ada salah satu umat Nabi mengatakan bahwa berkata jujur dan berterus terang lebih mahal harganya dari emas yang berkilauan.
c) Konsisten terhadap prinsip.
Salah satu sikap yang paling sulit untuk kita kerjakan yaitu konsisten terhadap prinsip. Sikap teguh memegang prinsip merupakan salah satu ciri yang paling menonjol dari pribadi yang kuat dan menarik. Sikap konsisten terhadap prinsip akan membawa seseorang meraih target dan tujuan yang ingin dicapai, hal ini tidak semudah yang kita bayangkan. Untuk menjadi prinsip tetap kokoh dan tak mudah digoyahkan, maka akal dan pikiran harus menjadi pondasi dasar bagi sebuah prinsip untuk menjadi pribadi yang berpengaruh.14

Kepribadian pada hakekatnya merupakan pusat dan topik utama dari segala kajian dan penelitian tentang jiwa manusia. Usaha untuk mengkaji dan mengenal kepribadian manusia telah dilakukan oleh para ahli psikologi.
Di dalam hadits Rasul yang merupakan sumber utama nilai dan norma ajaran Islam setelah Al-Qur’an, akan kita temukan banyak hadits yang mendorong umat Islam untuk memiliki etos kerja yang tinggi, yang merupakan salah satu ciri utama manusia yang berkualitas sebagai perwujudan dari aqidah Islamiyah. Aqidah yang benar akan melahirkan semangat untuk berprestasi, karena semua itu merupakan salah satu wujud ibadah kepada Allah SWT.
Secara umum, paling tidak kualitas yang harus mendapatkan sungguh-sungguh. Diantaranya:
a. Kualitas Aqidah.
Dalam rangka pembinaan aqidah, kaum muslimin harus cara sungguh-sungguh mempelajari Islam dan sumbernya yang asli: Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Pemahaman yang benar terhadap kedua sumber utama ini, diharapkan akan melahirkan persepsi yang utuh terhadap ajaran Islam. Islam adalah suatu sistem yang berkesinambungan tentang kehidupan manusia yang meliputi etika, hukum, ekonomi dan sebagainya.
b. Kualitas Teknoratif
Kita menyadari bahwa abad sekarang adalah abad teknologi dan informasi, bangsa-bangsa yang tidak memiliki technocratic power Dengan sendirinya tercecer di belakang kemajuan zaman. As-Sunnah menganjurkan kepada setiap muslim untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mereka mampu berdiri di dalam perlombaan ilmu dan teknologi.
c. Kualitas Organisasi.
Setelah kita memahami dua macam kekuatan di atas yang perlu kita sampaikan dan persiapkan dalam menghadapi dan menjawab berbagai tantangan zaman sekaligus menyambut seruan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ada tiga metode yang membantu kita untuk menjadi orang yang mampu memciptakan kepribadian yang berpengaruh terhadap orang lain dengan memanfaatkan sikap mau mengakui dan menghargai eksistensi orang lain.

Pertama, menanamkan dalam jiwa yaitu: sebuah perasaan atau pengakuan bahwa setiap orang mempunyai nilai dan harga diri.
Semakin kita mau mengakui dan menghargai eksistensi orang lain, maka semakin dalam pula pengaruh kita terhadap mereka. Realita membuktikan bahwa orang yang paling besar pengaruhnya terhadap orang lain adalah orang yang mempunyai keyakinan bahwa semua orang mempunyai nilai masing-masing yang perlu dihargai.
Kedua, mau memberikan perhatian kepada orang lain dengan seksama, karena biasanya orang tidak mau memberikan perhatiannya kepada hal-hal yang berada di sekitarnya. Kecuali jika hal tersebut mempunyai nilai dan keuntungan baginya.
Ketiga, menjauhi sikap sombong dan congkak, sikap merasa “lebih” di atas yang lain. Salah besar jika kita berusaha menumbuhkan rasa percaya diri pada diri kita dan berusaha menaikkan “nilai” diri kita dengan cara memaksa orang lain merasa “di bawah ” kita, memaksa mereka merasa kerdil di hadapan kita (Al-‘Uqshari, 2005: 232-234).

B. Aspek yang ditimbulkan proses pembentukan kepribadian muslim Lewat Al-Hadits.
Kepada para muslim yang sejati, milikilah jati diri dan identitas kalian yang jelas. Untuk itu, carilah hal-hal yang bisa mengangkat derajat kalian kepada taraf yang lebih tinggi, sehingga kepribadian kalian menjadi berbeda dengan orang lain. Konsep yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hubungannya dengan masalah pembinaan kualitas kepribadian. Kepribadian merupakan asas hidup kita yang terdiri atas empat unsur dasar yaitu:
1. Ciri Khas dalam Aqidah.
Ciri khas dalam aqidah merupakan elemen terpenting yang harus diwujudkan secara utuh oleh setiap individu muslim. Karena aqidah merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas umum seseorang, apakah ia muslim yang sejati atau hanya muslim yang setengah-setengah.
Orang yang benar-benar muslim adalah orang yang tidak mencampur adukkan aqidahnya dengan aqidah lain. Orientasinya, pemikirannya dan seluruh urusan duniawinya, sepenuhnya mengacu pada dua substansi hukum saja, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Ciri Khas dalam Ibadah.
Pola ibadah seorang muslim harus berbeda dengan pola ibadah pemeluk agama-agama lain. Peristiwa yang menguatkan hal ini adalah ketika Allah SWT. mewajibkan shalat lima waktu kepada kaum muslimin. Allah SWT. memerintahkan Nabinya menghadap kearah ka’bah ketika akan beribadah.
3. Ciri Khas dalam Akhlaq.
Dalam upaya pembinaan individu dan pendidikan masyarakat, Islam sangat memperioritaskan segi-segi akhlak dalam pengertiannya yang luas, seperti benarnya dalam ucapan dan tindakan, penuh rasa tanggung jawab (amanah), menepati janji, toleransi, pema’af, penyantun dan lain-lain. Ringkasnya, melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara totalitas.
4. Ciri Khas dalam Penampilan.
Ini termasuk unsur substansi dari serangkaian kerangka pembinaan pribadi seseorang. Bahkan ciri ini merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas iman seorang muslim serta untuk mengidentifikasi identitas atau jati dirinya.
C. Kriteria Kepribadian yang Berjiwa Haditsi
1. Bangga Terhadap Islam
Petunjuk Allah SWT. yang menjadi ciri utama kebenaran jalan seorang muslim, hendaknya dirasakan sebagai suatu kebanggaan, yakni kebanggaan dalam arti yang sebenarnya, yang berdiri di atas pondasi yang kuat dan kokoh.
Kebanggaan orang Islam adalah hakekat kebenaran Islam. Bukan disebut bangga dan menang kalau harus menyembunyikan Islam, tetapi kemenangan dan kebanggaan itu harus muncul tatkala menda’wahkannya kepada orang lain.
2. Berpegang Teguh Kepada Kebenaran
Seorang muslim yang telah yakin terhadap kebenaran yang dimilikinya, tidak akan ragu untuk mensyiarkannya, bahkan ia bangga meyakininya. Dengan demikian, dia akan berpendapat bahwa kehilangan kebenaran yang diyakini berarti adzab yang tiada bandingnya. Oleh karena itu, salah satu ciri orang mu’min adalah sebagaimana disinyalirkan dalam sebuah hadits
“Dia akan benci manakala ia kembali kepada kekafiran, sebagaimana dia benci manakala terlempar dalam neraka”. (HR. Bukhori)
Sering kali seorang muslim yang berpegang teguh kepada kebenaran agamanya, akan bersungguh-sumgguh memeliharanya dengan berbagai upaya. Ia bahkan rela dibakar, digergaji dan dipenggal lehernya dari pada harus meninggalkan agamanya.
3. Konsisten Terhadap Kebenaran
Di samping harus berpegang teguh kepada kebenaran dan bermujahadah dalam merealisasikan kebenaran serta menyarankan yang salah, masa seorang muslim masih dituntut untuk konsisten terhadap kebenaran. Hal ini merupakan puncak dari kepribadian muslim, sebab dari dasarnya manusia mengalami banyak dinamika dan perubahan. Hati berada di antara dua jemari dari jari jemari Allah SWT, dapatdiputar balikkan di mana bila dikehendakinya.
4. Ketenangan Jiwa dan Ketentraman Hati
Hasil dari mengetahui kebenaran serta konsisten kepadanya, akan membawa seorang muslim kepada ketenangan jiwa dan ketulusan hati. Dia tidak akan mudah terkena konflik, goncangan psikologis, serta tak mudah dilanda kebingungan dan kehampaan seperti yang banyak dirasakan masyarakat barat, karena mereka berpaling dari manhaj Allah SWT.
Sesungguhnya manusia tanpa manhaj Allah SWT. akan hidup dalam situasi serba sempit dan menderita. Ummat Islam adalah orang-orang yang paham, bahwa sesungguhnya ni’mat maupun musibah merupakan batu ujian hidup. Dan mereka adalah orang-orang yang konsisten dan komitmen kepada satu garis yang menjamin ketentraman jiwa dan ketenangan hati.
Pengetahuan dan peradaban yang disusun oleh Al-Hadits adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu. Al-Hadits menjelaskan banyak cara dalam melaksanakan segala kebutuhan dan pengembangannya serta keterangannya.
Kepribadian merupakan salah satu figur panutan bagi orang lain. Kepribadian pada hakekatnya merupakan pusat dan topik utama dari segala kajian dan penelitian tentang jiwa manusia. Usaha untuk mengkaji dan mengenal kepribadian manusia telah dilakukan oleh para ahli lewat berbagai metode dan pendekatan, sesuai dengan falsafah hidup dan kecendrungan masing-masing.
Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1) Al-Hadits diturunkan agar senantiasa menjadi pedoman dan landasan yang kedua setelah Al-Qur’an bagi ummat Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
2) Al-Hadits sangatlah besar peranannya, sehingga para muslimin dan muslimat selalu berpegang teguh pada pedomannya yang kedua setelah Al-Qur’an dan mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya.
3) Al-Hadits adalah salah satu pedoman setelah Al-Qur’an, di mana dengan pedoman ini umat islam selalu percaya diri bahwa dirinya adalah seorang muslim yang selalu patuh pada ajaran agamanya (Islam)
Bentuk tubuh, wajah, dan sesuatu yang nampak secara lahiriah (fisik) seringkali diidentikkan sebagai unsur pembentuk kepribadian. Sangat dangkal apabila ada yang beranggapan bahwa ini adalah faktor yang membentuk dan mempengaruhi kepribadian seseorang. Sehingga dibentuklah sekolah-sekolah kepribadian yang hanya sekedar mengajarkan cara berjalan, berbicara, makan, duduk, berpakaian dan sejenisnya.
Kepribadian (syakhsiyah) pada setiap manusia sesungguhnya terbentuk dari pola pikirnya (‘aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyah). Pola pikir (‘aqliyah) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu, yakni cara mengeluarkan keputusan hukum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang diimani dan diyakini seseorang. Sedangkan pola sikap adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (hajat al ‘adhawiyah), yakni upaya memenuhi tuntutan tersebut berdasarkan kaidah yang dimani dan diyakininya. Jika kaidah yang digunakan untuk ‘aqliyah dan nafsiyah seseorang jenisnya sama, siapapun dia, maka syakhshiyah-nya pasti khas dan unik.
Sesungguhnya syakhshiyah ini tidak akan berjalan dengan lurus, kecuali jika ‘aqliyah seseorang itu adalah ‘aqliyah Islamiyah, dimana seseorang bisa mengeluarkan keputusan hukum tentang benda dan perbuatan sesuai hukum-hukum syara’, sehingga dia mampu menggali hukum, mengetahui halal-haram, dia juga memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar.
Selain itu, nafsiyah-nya juga adalah nafsiyah Islamiyah, sehingga akan memenuhi tuntutan gharizah dan hajat al ‘adhawiyah-nya dengan landasan Islam. Dia akan melaksanakan yang halal dan menjauhi yang haram, mendekatkan diri pada Allah melalui apa saja yang telah difardhukan kepadanya, serta berkeinginan kuat untuk mengerjakan berbagai nafilah, hingga dia makin bertambah dekat dengan Allah swt. Dia akan menyikapi berbagai kejadian dengan sikap yang benar dan tulus, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar. Juga mencintai dan membenci karena Allah, dan senantiasa bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Jika ‘aqliyah dan nafsiyah-nya telah terikat dengan Islam, berarti dia telah memiliki syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam).
Kadangkala terjadi pada diri seorang Muslim atau pengemban dakwah ketimpangan dalam dirinya. Boleh dibilang ‘aqliyahnya oke, tetapi nafsiyah-nya kurang atau sebaliknya. Semestinya antara pola pikir dan sikapnya harus seimbang dan berjalan selaras. Hanya saja, tidak berarti dalam diri prilakunya tidak akan pernah ada kecacatan. Karena manusia bukanlah malaikat. Tetapi kecacatan tersebut tidak terjadi sering atau bahkan menjadi kesehariannya. Dia bisa saja melakukan kesalahan, lalu memohon ampunan dan bertaubat.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim dan pengemban dakwah khususnya, harus senantiasa meningkatkan tsaqofah/pengetahuannya tentang Islam (hukum syara’) dan nafsiyah senantiasa diwujudkan dalam kehidupan sehari-harinya. Setiap harinya diisi dengan ibadah kepada Allah. Lisannya senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah, anggota badannya senantiasa bergegas melaksanakan berbagai kebaikan, membaca al Qur’an dan mengamalkannya, mencintai Allah dan Rasul-Nya, suka dan benci karena Allah, senantiasa mengharapkan rahmat Allah, takut akan adzab-Nya, bersabar sembari terus menerus melakukan intropeksi, disertai kepatuhan penuh kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya, konsisten memegang kebenaran, bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada orang-orang Mukmin, bersikap keras dan terhormat di hadapan orang-orang kafir, akhlaknya baik, tutur katanya manis, hujjahnya kuat dan senantiasa menyerukan kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran. Dia melangkah dan beramal di dunia, sementara kedua matanya senantiasa menatap nun jauh disana (negeri akhirat), surga yang luasnya seluas dan bumi, yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
Ketika seorang Muslim dan pengemban dakwah khususnya meningkatkan tsaqofah dan memperkuat nafsiyah-nya, maka dia sedang berjalan menuju puncak kemuliaan. Predikatnya yang tertinggi adalah dia merupakan sebaik-baiknya hamba Allah Swt.
Pemikiran Westernisasi adl sebuah arus besar yg mempunyai jangkauan politik sosial kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa terutama kaum muslimin dgn gaya Barat. Dengan cara menggusur kepribadian Muslim yg merdeka dan karakteristiknya yg unik. Kemudian kaum muslimin dijadikan tawanan budaya yg meniru secara total peradaban Barat. Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah meniru kebarat-baratan. Usaha mereka telah berhasil. Apalagi ditunjang dgn tampilnya acara-acara TV yg terlalu berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati diri kepribadian Muslim hanya tampak pada sebagian kecil ummat. Bangga dgn kebiasaan dan adat orang-orang kafir sementara dgn adatnya sendiri merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian kalangan ummat Islam.
Gerakan westernisasi telah mampu merembes hampir di tiap negara di dunia Islam dan negara-negara Timur. Dengan diam-diam masyarakatnya terseret ke dalam peradaban Barat yg materialistik dan modern. Akibatnya mereka terikat oleh roda peradaban Barat.
Pengaruh westernisasi ini berbeda-beda antara satu negara dgn negara lain. Hal itu tampak jelas di Mesir Iraq Palestina Suriah Yordania Turki Indonesia dan Marokko.
Gerakan ini merembes ke seluruh dunia Islam. Akibatnya tidak ada satunegeri muslim atau negeri Timur yg tidak dirembesi oleh gerakan ini. Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia.
Dalam proses pembentukannya, kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik atau biologis, pengalaman-pengalaman sosial dan perubahan lingkungan. Menurut Geoghegan, lingkungan yang mempengaruhi kepribadian masih dirinci menjadi lingkungan prenatal atau lingkungan internal dan lingkungan postnatal atau lingkungan eksternal. Lingkungan postnatal atau lingkungan eksternal inilah yang biasa disebut sebagai lingkungan dalam pengertian umum, yakni tempat seseorang berhubungan dengan dunia luar dirinya, yang lebih lanjut dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Jika pembedaan lingkungan menjadi lingkungan fisif dan lingkungan sosial tersebut sesungguhnya didasarkan pada aspeknya, maka pembedaan lingkungan dapat pula dilakukan berdasarkan jenis lingkungannya.

Tidak ada komentar: