BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah
Akibat persepsi dan pemaknaan yang keliru tentang cinta, tidak jarang kita terlibat dalam pergaulan yang terlalu bebas dan permisif. Apapun boleh dilakukan, asal dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada lagi pertimbangan tentang sebab dan akibat. Tidak ada lagi pertimbangan berdasarkan hati nurani dan akal sehat. Dengan dalih cinta, apa pun akan dilakukan. Biasanya kita baru merasa sadar ketika efek atau akibat dari pergaulan bebas tersebut membawa dampak yang negatif semisal kehamilan di luar nikah, perjudian, pembunuhan, dan perasaan minder akibat kita merasa tidak seperti remaja-remaja lain yang masih “bersih”. Bahkan tak sedikit remaja yang mengakhiri masa mudanya dengan menggantung diri di kamar atau meminum racun anti serangga, karena tak siap menanggung rasa malu akibat dari perbuatannya. Misalkan kehamilan remaja di luar nikah tidak hanya membawa dampak negatif bagi si calon ibu, tetapi juga bagi anak yang di kandungnya. Hal tersebut menyebabkan putusnya nasab bagi si anak sehingga si anak tidak meiliki hak waris dari ayahnya. Selain itu, keluarga dari remaja yang hamil di luar nikah itu pun akan mengalami tekanan batin tertentu. Rasa malu pada tetangga dan teman-teman merupakan penderitaan batin tersendiri yang harus ditanggung remaja dan keluarganya. Dan banyak dampak-dampak negative lainnya yang akan dideritanya di dunia maupun di Akhirat. Di dunia ia akan mendapat cercaan dan rasa malu yang teramat sangat juga hukuman rajam. Andaikan hukum tersebut benar-benar ditegakkan di suatu negara, maka hal itu bisa diminimalisir. Sedangkan di Akhirat ia akan mendapatkan ‘adzab yang sangat keras. Na’udzubillah hi min dzaalik.
Rosululloh Saw. diutus tiada lain untuk menyempurnakan Akhlaq umatnya, sebagaimana sabdanya : “innamaa bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq “. (Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyerpunakan Akhlaq yang mulia). Dalam diri Rosullulah terdapat contoh yang mulia, suri teladan yang baik. Akhlaq rosulullah adalah al-Qur’an, maka sebagai umatnya kita harus berpedoman kepada Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang pertama setelah ucapan, perbuatan dan persetujuan nabi Muhammad SAW, sebagaimana Alloh terangkan dalam Al-Qur’an bahwa tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah, hal tersebut dijelaskan dalam QS. Adz-dzariyat:56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Cermin dan qiblat kita dalam bersikap dan beribadah adalah kepada Nabi Muhammad agar apa yang kita lakukan diterima dan diridloi Alloh swt, beliau telah mengajarkan banyak hal suri tauladan yang baik, yang telah menuntun dan mengeluarkan umat dari kegelapan menuju cahaya, dari kebobrokan Akhlaq menuju akhlaq mulia yang ada dalam naungan Mardlotillah. Namun, fenoma saat ini sangatlah ironi dengan pernyataan diatas. Manusia zaman sekarang banyak yang telah meninggalkan cermin dan qiblatnya, sehingga akhlaq yang tergambar dalam diri mereka bukan lagi kemulyaan yang seperti rosulullah ajarkan. Karena pengaruh negative yang begitu kuat, kebanyakan mereka bercermin gaya hidup barat yang penuh dengan hedonism yang pada akhirnya berujung pada degradasi moral dan penyimpangan-penyimpangan sikap.
Degradasi moral pada umat Islam khususnya dan seluruh manusia di alam ini umumnya bisa jadi disebabkan oleh beberpa factor. Ada factor internal yang datang dari pribadi masing-masing, yang paling mendasar adalah datang dari hati mereka yaitu berkurangnya keimanan dan keyakinan terhadap Alloh. Factor eksternalnya adalah datang dari pengaruh-pengaruh negative dari keluarga, masyarakat dan lingkungan. Apalagi di era globalisasi dan modernisasi ini, apapun dapat ditangkap dengan cepat dan menyebar baik itu informasi, pengetahuan, teknologi dsb. Dalam hal ini tidak terkecualikan juga akhlaq, dari akhlaq yang terpuji hingga yang terbobrok akan mudah sampai di kehidupan nyata kita. Adapun factor keadaan yang dapat menyebabkan seorang anak menderita degradasi moral adalah kuarang adanya perhatian dan pengawasan dari orang tua dan orang dewasa di sekitarnya, sehingga anak bersikap dengan seenaknya yang dia suka. Begitupun dengan kondisi ekonomi keluarga bisa jadi berpengaruh terhadap penyimpangan akhlaq jika hidup tidak dibarengi dengan keimanan. Ada ungkapan “Kaada al-faqiiru an yakuuna kufron” yang artinya hamper saja kemiskinan menyebabkan kekufuran.
Banyak penyimpangan yang menjadi dampak dari kemiskinan jika manusia tidak bisa menerima bahwa kemiskina dalah ujian yang pahit, karena sebenarnya kekayaan juga dalah ujian, namun bisa dikatakan ujian yang manis. Dampaknya bisa berupa pencurian yang semakin marak dan bukan hal yang aneh lagi, lambat laun berujung pada pembunuhan juga banyak orang yang menjadi kehilangan akal sehatnya. Kemiskinan bahkan menjadi salah satu cara syetan menakut-nakuti manusia, hingga akhirnya manusia rela menukar agamanya dengan harga yang murah. Sebenarnya kemiskinan adalah masalah yang structural saja, karena Allah telah menyaipakan dan memeberikan jatah rezeki bagi tiap manusia yang lahir dan akan lahir. Tinggal manusianya saja apakah ia mampu menjemput rezekinya atau tidak. Allah mewajibkan manusia untuk ikhtiyar (berusaha), adapun hasilnya manusia tinggal pasrahkan kepada Allah, yang penting adalah seberapa besar usaha dan keyakinan manusia,hal itu disebut tawakal. Karena Allah telah menciptakan segala yang ada dilangit dan di bumi untuk manusia.
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. QS. Al-Baqarah:22.
Jika manusia sadar, sebenarnya kemiskinan bisa menjadi suatu motivasi hidup. Karena dengan keadaan demikian, manusia akan semakin kuat untuk bermimpi merubah nasib hidup. Terutama orang islam, secara tersirat orang Islam itu wajib menjadi orang yang kaya. Kaya hati dan kaya harta, karena dalam sebagian ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia berjihad dengan harta setelah berjihad dengan diri (jiwa). Juga sabda Rosululloh yang menyebutkan bahwa “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing ada kebaikan. Berusahalah untuk meraih apa yang bermanfa’at bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah.” (H.R. Imam Muslim). Seorang mukmin tidaklah harus kuat fisiknya, tetepi kuat dalam social politik, ekonomi, pemikiran dsb. Karena seorang mukmin tidaklah hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Di sisi lain kemiskinan tidaklah selamanya disalahkan sebagai penyebab degradasi moral, sebagai pelampiasan rasa kekecewaan terhadap keadaan hidup dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan, seperti seks bebas, judi, mencuri, membunuh dsb. Perlu disadari bahwa manusia bisa berbuat jahat juga karena ia merasa berkuasa, jika manusia punya banyak harta maka ia merasa berkuasa dan ia akan lupa terhadap Alloh, tidak akan peduli atau merasakan derita orang di sekitarnya, ia akan merasa bebas melakukan apapun. Dalam satu hadits disebutkan bahwa orang yang masuk surge tanpa hisab adalah orang miskin yang ikhlash menerima kemiskinannya dan selalu berusaha untuk meraih perubahan yang positif, juga orang miskin yangh senantiasa melapangkan dirinya untuk berinfaq. Allah sangat menyukai orang yang menginfaqkan hartanya di saat ia lapang maupun sempit.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa yang menyebabkan timbulnya degradasi moral dan pergaulan bebas?
b. Bagaimana cara Islam menangani masalah pergaulan bebas?
c. Apa kaitannya moralitas dengan kemiskinan?
d. Apa akar kemiskinan dan mengapa umat Islam miskin?
e. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan?
1.3. Tujuan
a. Mengetahui bagaimana cara Islam mengatasi fenomena degradasi moral dan mengentaskan kemiskinan.
b. Mengetahui hakikat pergaulan yang dianjurkan oleh Islam
c. Mengetahui hakikat kemiskinan yang sebenarnya.
d. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Agama semester 4.
1.4. Langkah-langkah dan Metode Pembuatan Makalah
Langkah awal pembuatan makalah ini adalah mengumpulkan informasi dan data-data yang bersangkutan dengan pembahasan makalah ini baik melalui metode wawancara maupun metode kajian kepustakaan (library research).
Langkah kedua adalah dengan menyimpulkan hasil dari kajian terhadap data-data yang diperoleh dari wawancara dan library research.
Langkah terakhir adalah menuangkan ide yang telah diolah secara sistematis, sehingga menjadi satu makalah yang berjudul ISLAM dan KEMASYARAKATAN
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, langkah dan metode pembuatan makalah dan sistematika penulisan.
Bab II: Pembahasan mengenai islam dan kemasyarakatan yang terdiri dari sebab-sebab timbulnya pergaulan bebas, cara Islam mengatasi pergaulan bebas, kaitan antara kemiskinan dengan moralitas dan cara Islam mengentaskan kemiskinan.
Bab III: Penutup berupa kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM dan KEMASYARAKATAN
A. Sebab-sebab Timbulnya Pergaulan Bebas
“Dihiasi alam manusiawi dengan cinta sebagai rahmatnya...agar dapat hidup berkasih sayang laki-laki dan perempuan...agar dapat mengembangkan keturunan demi penerus perjuangan...begitulah Tuhan meletakkan nilai cinta dalam kesucian...jadi janganlah kau menyalahgunakan sebagai pemuas nafsu syetan...dan juga janganlah cinta kau jadikan alat pembuat kerusakan...”(Rhoma Irama:Citra Cinta)
Dewasa ini, banyak kawula muda yang kehilangan semangat jiwa mudanya karena mereka merasa telah jatuh ke dalam jurang Di masa yang semakin hari semakin banyak kemudahan yang didapat untuk berkomunikasi satu sama lain dengan orang-orang di berbagai belahan dunia manapun, semakin memperparah terjadinya pergaulan bebas yang memang telah menjadi penyakit masyarakat jauh sebelum berbagai kemudahan itu ada. Di samping sisi positif dari hadirnya situs jaringan sosial seperti Facebook dan Twitter, tak bisa dipungkiri, sisi negatif dari hal tersebut tak dapat dielakan. Kini pergaulan bebas tak lagi menjadi hal yang tabu, melainkan telah menjadi makanan sehari-hari para remaja bahkan orang yang sudah tua renta sekalipun. Alasan mereka melakukan pergaulan bebas pun beragam, mulai dari hanya sekedar suka sama suka, terpengaruh oleh maraknya pornoaksi dan pornografi, sekedar mencari kesenangan di luar rumah karena suasana rummah yang kurang kondusif, mencari sesuap nasi, dan yang terparah karena memang pergaulan bebas telah menjadi kebiasaan hidup mereka (maniak), na’udzubillah.
Dalam teori komunikasi dikatakan bahwa pergaulan adalah terjadinya hubungan diantara lawan jenis dan sejenisnya sebagai akibat dari kontak sosial seperti berpandangan, berbicara atau ngobrol, bersentuhan, dsb. (Asgun:19). Dan sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Allah memerintahkan manusia untuk saling mengenal atau dengan kata lain untuk bergaul satu sama lain. Tentu bergaul disini bukanlah pergaulan yang membawa dampak negatif apalagi mengundang murka Allah. Pergaulan yang dimaksud disini adalah pergaulan yang mendatangkan kebaikan , kemuliaan, dan juga kasih sayang Allah SWT. bergaul sebagaimana yang disyari’atkan oleh Islam, tak kan membuat seseorang mati gaya. Sebaliknya dengan mengikuti berbagai aturan dan etika islam dalam bergaul, maka umat islam akan terhindar dari hal-hal yang kurang bermoral, misalnya: perselingkuhan yang pada akhirnya berujung pada perzinahan. Islam telah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis. Hal ini telah tercantum dalam surat An-Nur ayat 30-31. Telah dijelaskan bahwa hendaknya kita menjaga pandangan mata dalam bergaul dan hendakalh seorang wanita memakai jilbab yang menutupi dada.
Bicara mengenai pergaulan beretika, maka secara tidak langsung bicara mengenai pergaulan yang kurang beretika atau pergaulan bebas. Pergaulan bebas adalah terjadinya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah melebihi batas-batas kewajaran dan norma-norma agama, sosial, dan hukum. (Asgun:20). Pergaulan bebas bisa disebut juga Perilaku menyimpang yang secara sosiologis dan generallly dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.(Yahoo_answer). Perilaku menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel sebagai pendosa atau orang sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama disebut sebagai ajaran sesat.
Banyak faktor yang menyebabkan pergaulan bebas itu terjadi. Berdasarkan hasil penelusuran di google.com, penyebab terjadimya pergaulan bebas adalah:
a.Kurangnya perhatian dari orang tua
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian mereka. Salah satunya adalah dengan mencari perhatian dari teman sebaya, khususnya lawan jenis. Dalam bahasa anak sekarang lebih dikenal dengan “Doi” atau pacar. Mereka akan lebih mendengarkan apa yang dikatakan oleh pacar tercinta daripada nasihat orang tuanya sendiri. Sekalipun sang pacar meminta hal yang bisa membawa dampak negative untuk kehidupannya di masa depan, mereka tidak peduli. Karena cinta maka semuanya boleh dilakukan. Sebagaimana Rhoma Irama dalam lagunya “... banyak sudah.. tunas-tunas muda... berguguran sebelum berkembang.. korban dari nafsu birahi durjana... yang mengatasnamakan cinta... janganlah kau menodai citra cinta... yang memang suci dan mulia... syukurilah anugerah cinta... pelihara nilai citra cinta...” (citra cinta: rhoma Irama). Setelah semuanya terjadi, barulah mereka menyadari akan perbuatan mereka, na’udzubillah.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah, bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu minggu. kurangnya aqidah menyebabkan seseorang mengalami lemah iman yang pada akhirnya mereka kehilangan pegangan hidup . hal tersebut menyebabkan ia dengan mudah terjerumus ke dalam jurang kenistaan dan penyimpangan syahwat atau dengan kata lain pergaulan bebas.
d. Ketidamampuan memanfaatkan waktu luang
seseorang yang tidak memiliki pekerjaan maupun kegiatan yang berarti, maka dengan mudah ia dimanfaatkan oleh nafsu yang dikendalikan oleh syetan. Sepanjang hari ia gunakan akal dan fikiranya untuk melamun dan membayangkan hal yang tak jarang menjerumuskan ia ke dalam kemaksiatan, atau lebih dikenal dengan istilah “pikiran NGERES”.
e. Maraknya Pornoaksi dan Pornografi
Semakin mudahnya manusia memperoleh informasi dari berbagai belahan dunia melalui media cetak dan elektronik, khususnya internet, membuat pergaulan bebas pun semakin menjadi di berbagai kalangan tanpa melihat batasan usia. Video dan gambar kurang bermoral dan tidak memiliki nilai-nilai kesopanan dan etika dengan mudah diakses dan dilihat oleh pengguna internet yang kebanyakan masih di bawah usia.
f. Faktor Ekonomi
Tak sedikit dari masyarakat dunia, khususnya wanita yang rela menjual perisai malunya demi sesuap nasi. Mereka rela menjual aqidahnya dengan harga yang murah, alasan yang dikemukakannya adalah kemiskinan. Bahkan tak sedikit dari laki-laki yang merasa sulit untuk mendapatkan pekerjaan, mereka rela mengubah penampilan mereka bak seorang wanita dan menjajakan diri di tepian jalanApabila ditelaah, sebenarnya masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik tentunya, daripada harus menjadi “kupu-kupu malam”. Namun perspektif setiap orang berbeda, tergantung dari sisi mana orang tersebut memandang kehidupannya. Dan menjudge bukanlah jalan terbaik untuk kasus ini.
B. Cara Islam Mengatasi Pergaulan Bebas
Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang merupakan anugerah terindah bagi umat manusia karena Islam merupakan pedoman dan petunjuk jalan untuk mengarungi samudera kehidupan dunia. Agama yang senantiasa mengatur tatanan kehidupan manusia yang mampu mengantarkan manusia kepada ridha Allah SWT.
Remaja adalah manusia, maka pembahasan mengenai remaja tidak bisa dilepaskan dari pembahasan dia sebagai manusia. Maka dari itu kebutuhan remaja akan suka terhadap lawan jenisnya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan manusia, bahwa manusia mempunyai potensi kehidupan yang dinamis yang senantiasa mau tidak mau membuat manusia beraktivitas dalam kehidupan ini.
Kecenderungan remaja untuk berkelompok, bergaul dengan sesama dan ingin diakui eksistensinya merupakan hal yang fitrah/manusiawi. Kecenderungan seperti itu bukan dihilangkan, tetapi boleh dipenuhi, hanya pemenuhannya diatur. Ketika manusia butuh makan (yang merupakan potensi manusia/ kebutuhan jasmani), kita tidak dilarang untuk makan, namun ketika kita ingin makan, mulai dari apa yang dimakan, bagaimana cara mendapatkan atau bagaimana cara makan itu ditentukan aturannya. Analog dengan hal tersebut, kebutuhan remaja untuk suka terhadap lawan jenis bukanlah dihilangkan tapi diatur.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang bukan aturan seperti yang diterapkan sekarang yang menerapkan paham kebebasan. Tapi dibutuhkan suatu aturan yang sesuai fitrah manusia yang tentu saja kalau dimunculkan siapa yang lebih tahu fitrah manusia adalah yang membuat manusia dalam hal ini adalah Allah, maka dari itu kita harus merujuk kepada Allah, bagaimana Allah mengatur pemenuhan kebutuhan remaja akan suka terhadap lawan jenis. Sebab Allah lebih tahu ‘benda ciptaanya’ yakni manusia sehingga Dia telah menciptakan aturan yang tentu saja sesuai fitrah manusia dan tuntas menyelesaikannya. Kita semua yakin Allah Mahatahu, tentu saja keMahatahuan Allah juga meliputi tentang manusia dan masalahnya.
Allah Swt. berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Pergaulan remaja yang kian hari kian identik dengan gaya hidup hedonis. Gaya hidup yang mengejar kesenangan dunia semata. Materi, popularitas, dan penampilan menjadi tujuan utama. Mereka cenderung untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serba kecukupan tanpa harus bekerja keras. Gaya hidup ini juga melahirkan remaja bermental instan. Enggan untuk menjalani proses untuk mendapatkan keinginannya. Yang penting hasil. “Kalau ada jalan tikus atau pintu belakang, ngapain juga susah-susah lewat depan yang dijaga satpam dan harus kudu permisi segala?” begitulah dalih yang diungkapkan oleh sebagian besar para remaja zaman sekarang. Fenomena itulah yang menyebabkan semua tumpuan dan harapan terhadap remaja yang seharusnya menjadi penerus cita-cita agama dan negara seolah-seolah hanya menjadi fatamorgana semata. Akan tetapi, sikap putus asa bukanlah jawabannya, melainkan harus diupayakan solusi dan langkah-langkah preventif yang jitu untuk mengatasinya dan Come back to Islam merupakan langkah dan solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut:
1. Menanamkan Pendidikan Aqidah yang Kuat di dalam Keluarga
Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat. Para ahli ilmu akhlak menerangkan bahwa pembentukkan akhlak atau mental itu bukan hanya dimulai dari kecil melainkan sejak terbentuknya ia sebagai manusia, sebagai janin (bayi) dalam rahim ibunya. Mulai dari pertemuan sperma dengan ovum, secara tidak langsung sudah ada pembentukan akhlak padanya melalui pengalaman-pengalaman orang tuanya, terutama ibu, yang merupakan refleksi bagi pembentukan mental calon bayi yang ada di dalam perut ibu tersebut. Hal ini didukung dengan adanya bukti-bukti baik secara agamis maupun secara ilmiah bahwa adanya penurunan sifat-sifat dari orang tua kepada turunannya.
Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya akan menjadi dasar aqidah yang kuat. Hal itulah yang menjadi acuan dalam menyarankan setiap calon ibu untuk memperbanyak melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan menjauhi perkataan kotor yang tidak pantas diucapkan, karena janin yang ada di dalam kandungan sudah peka terhadap rangsang suara yang ada di sekelilingnya.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam, yaitu:
• Pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kasih sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Dalam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
• Pada usia 7 sampai 10 tahun adalah tahap pemeliharaan anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim.
• Pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun) adalah tahap ta’dib (pengawasan). Masa ini merupakan masa yang penting karena merupakan masa dimana anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
• Pada saat anak telah mencapai usia baligh (± 16 tahun), dapat dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
Ada juga tiga cara dalam memperlakukan anak, yaitu:
• 0-7 tahun; perlakukanlah ia sebagai raja
• 7-14 tahun; perlakukanlah ia sebagai tawanan perang
• 14-seterusnya; perlakukanlah ia sebagai teman (sahabat)
Pendidikan aqidah yang ditanamkan di dalam keluarga akan memberikan kesiapan mental bagi si anak untuk bersosialisasi dengan dunia di luar keluarganya. Seorang anak kecil yg berbahagia dalam kehidupan keluarganya pada umumnya dapat dilibatkan untuk melakukan kerjasama aktif dalam kehidupan keluarga. Seorang anak kecil sebaiknya diizinkan untuk berbagi “tugas-tugas ringan” dengan ibu atau ayahnya, maupun dengan saudara-saudaranya. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk rasa percaya diri dan tanggung jawab pada si anak agar si anak merasa aman dan nyaman di rumahnya sendiri.
1. Memilih Lingkungan Sekolah yang Kondusif untuk Memperkuat Fondasi Aqidah yang Telah Dibangun di dalam Keluarga
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi ini adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya.
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya dengan berbagai pendekatan. Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, materi kepribadian Islam yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan: pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi secara formal struktural dan non-struktural, guru harus menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik. Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
2. Berada pada Lingkungan Masyarakat yang Kondusif yang Mampu Berperan sebagai “polisi sosial”
Bpk. Zainun Mu’tadin, SPsi., MSi mengatakan bahwa remaja sama seperti makhluk hidup lainnya yang akan melewati masa penyesuaian diri. Istilah guru biologi adalah kemampuan beradaptasi. Seperti yang dilalui burung penguin hingga kulitnya tahan dingin walau nggak pake sweater atau syal. Begitu pula yang dialami jerapah hingga lehernya panjang sehingga bisa memakan pucuk-pucuk daun. Dalam istilah psikologi, adaptasi itu disebut adjusment. Yaitu suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Karena itu karakter remaja akan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempatnya beradaptasi.
Oleh karena itu kontrol dari masyarakat sangat diperlukan guna mengatasi bahaya yang kemungkinan terjadi dari adanya pergaulan bebas yang sedang melanda para remaja, dimana lingkungan masyarakat merupakan lingkungan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan non-formal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Konrol masyarakat harus berjalan dengan baik. Masyarakatlah yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji yaitu apabila seseorang berperilaku menyimpang, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya.maka anggota masyarakat lainnya harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
“Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila masih juga tidak mampu, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Lima, kecuali Bukhari)
3. Adanya Peranan yang Berarti dari Institusi Negara
Negara merupakan benteng yang paling kokoh dalam mengatasi seluruh problema pergaulan bebas. Negara mampu menutup lokasi-lokasi pelacuran, pabrik-pabrik bir dan menangkap pelaku tindak kejahatan tersebut. Negara, dalam kehidupan kaum muslimin, semestinya mengayomi dan melindungi kepentingan masyarakatnya. Rasulullah bersabda:
“Setiap kalian adalah penggembala (pemimpin) dan akan diminta tanggung jawab terhadap urusan yang dipimpinnya. Seorang amir adalah penggembala (pemimpin) atas rakyatnya dan akan dimintai tanggung jawab atas segala yang dipimpinnya.” (HR.Muslim)
4. Menanamkan Cara Bergaul Islami
Pergaulan islami adalah pergaulan yang sesuai dengan ajaran Islam yang berpedoman pada Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. Serta dalam tataran amal telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang shaleh.
Pergaulan yang diatur oleh Islam mencakup semua pergaulan (interaksi) antar makhluk ciptaan Allah SWT., di antaranya bagaimana cara bergaul dengan orang tua, suami isteri, saudara, tetangga, teman sejawat, bahkan Allah juga mengatur bagaimana cara bergaul dengan ciptaan Allah lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Allah SWT. mewajibkan kepada manusia untuk berbuat baik terhadap sesama manusia setelah kewajiban untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya:
• •
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisa: 36)
1) Pergaulan dengan ibu-bapak
Berbuat baik/berbakti kepada orang tua (birrul walidain) adalah merupakan kewajiban sebagai seorang muslim karena Allah telah menuntun seseorang bagaimana cara bergaul dengan ibu bapak. Pahala yang besar telah dijanjikan Allah kepada hamba yang berbuat baik kepada kedua orang tua, sebaliknya Allah juga mengancam dengan neraka-Nya bagi hamba yang durhaka kepada orang tua. Satu hal yang memotivasi kita untuk selalu berbuat baik kepada orang tua adalah dengan mengingat betapa besar peran orang tua dan jasanya, terutama kepada ibu, mulai saat melahirkan. Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam 2 tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Lukman: 14)
Kewajiban berbuat baik kepada orang tua bukan semata sebagai balas budi, akan tetapi lebih kepada melaksanakan perintah Allah SWT. Dan tataran aplikatif (amal) perlu dilakukan upaya terus menerus untuk melatih diri berbuat baik kepada orang tua. Caranya tentu berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain. Bersikap tawadhu' dan kasih saying kepada orang tua merupakan sikap yang perlu dipelihara, menghadirkan orang tua dalam setiap doa kita (Q.S. Al-Isra: 24)
Berusahalah menjadi anak shaleh/shalehah sehingga dapat berbakti kepada orang tua melalui dua hal:
• Mengingatkan, menjaga, menjauhkan orang tua dari hal-hal atau aktivitas yang diharamkan oleh Allah SWT. dan rasul-Nya
• Mengajak dan mendukung hal-hal atau aktivitas mereka dalam kebaikan di jalan Allah SWT.
Di dalam Q.S. Lukman: 15 Allah mengajarkan kepada kita suatu sikap yang mulia apabila kedua orang tua memaksa anaknya untuk menyekutukan Allah. Hal ini hendaknya dicamkan dan dijadikan pelajaran.
2) Pergaulan suami isteri
Kesuksesan pergaulan suami-isteri sangat ditentukan bagaimana merencanakan sebuah pernikahan yang termasuk di antaranya proses memilih pasangan hidup. Rasulullah dalam sebuah hadits menganjurkan kepada kita untuk memilih pasangan hidup yang baik. Empat hal yang dilihat dalam memilih pasangan hidup: wajah, keturunan, harta dan agamanya, maka yang dijadikan pertimbangan pertama adalah agamanya. Tentunya calon yang dipilih untuk dijadikan isteri/suami adalah yang pemahaman dan pengamalan agamanya lebih baik.
Pernikahan adalah ibadah kepada Allah dan tentunya niat melaksanakannya juga untuk beribadah pada Allah. Dengan ini akan memotivasi kita untuk mengarahkan kehidupan berumah tangga kepada jalan yang dekat dengan Allah sehingga terwujud Keluarga Sakinah mawaddah wa rohmah. Anjuran untuk bergaul secara baik dengan pasangan (suami/isteri) terutama untuk suami tercantum dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Dalam pengamalannya dibutuhkan saling pengertian diantara kedua pasangan. Sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan rumah tangga bahwa tidak selalu akan terdapat hal yang indah-indah saja tanpa ada permasalahan. Dengan saling pengertian dan kedewasaan dalam menata dan bergaul dengan pasangan akan menjadikan permasaalahan itu sebagai pemicu untuk menumbuhkan kebahagiaan berikutnya. Suatu hal yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Hanya dengan melatih diri secara terus menerus dan meningkatkan kualitas iman serta kedekatan pada Allah SWT. hal itu bisa terwujud.
3) Pergaulan dengan sesama muslim
Rasulullah SAW. adalah tauladan utama dalam mencontohkan cara bergaul dengan sesama muslim, bahkan Rasulullah menunjukan akhlak-akhlak yang mulia bukan hanya kepada muslim tetapi juga kepada non-muslim sehingga tidak sedikit akhirnya seorang non-muslim menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya dikarenakan akhlak Rasulullah yang mulia.
Secara fitrah manusia - siapapun dia - selalu menyenangi kebaikan. Maka tatkala kita mampu menampilkan akhlak Islami dalam pergaulan akan semakin banyak orang bersimpati dan mengikuti langkah kita. Pergaulan sesama muslim diatur dalam Islam sedemikian rupa sehingga kalau interaksi ini berjalan sesuai dengan tuntunan Islam maka itulah yang dinamakan ukhuwah Islamiyah. Secara kongkrit dalam siroh sahabat, kita baca bagaimana ukhuwah yang bukan hanya sekedar dipahami sebagai sesuatu yang indah tetapi juga dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, Fitrah manusia adalah hanif, lurus, penuh kasih-sayang, rela berkorban demi saudara. Manusia adalah makhluk yang mulia, bukan makhluk yang melulu menumpahkan darah. Dia rela bukan hanya harta untuk sekedar sumbangan, tenaga, atau fikiran, jiwa sekalipun, yang hanya satu dan tak bisa diganti, dia korbankan untuk kepentingan saudara-saudara lebih dahulu baru dirinya.
Manusia adalah makhluk yang halus budi yang tunduk-patuh, yang tahan menderita demi kebahagiaan saudaranya, tak suka berebut sesuatu dengan saudara demi kepentingan pribadi. Ia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah Yang Maha Tahu, Rabb Yang Maha Pandai, Khalik Yang Maha Kuasa. Ia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Penguasa Jagad Raya untuk menjadi khalifah di bumi dan memberikan rahmat pada alam. Selain makhluk terbaik mustahil dapat menjalankan misi yang diembankan Allah ini. Itulah manusia Muslim, yang berserah diri kepada dan hanya kepada Allah, yang tunduk dan menundukkan diri, yang patuh dan taat hanya kepada Rabb Yang Agung, manusia yang merdeka, manusia yang bebas dari jerat syahwat dan fitnah, manusia yang pekat dengan akhlak islami, akhlaqul kharomah, yang pancarannya melembutkan kalbu.
Inilah manusia yang hati merahnya telah ter-sibghah (terwarnai) dengan warna islam, manusia sempurna, manusia Muslim. Dalam pergaulan sesama muslim yang perlu diperhatikan adalah memenuhi hal dan adab kaum muslimin. Hal ini merupakan ibadah pada Allah SWT. dan sebagai suatu cara mendekatkan diri kepada-Nya. Hak dan adab kaum muslimin antara lain: mengucapkan salam, mendoakannya waktu bersin, menengoknya bila sakit, menyaksikan jenazahnya bila meninggal, menghargai sumpahnya, memberi nasehat dalam hal yang hak, mencintainya seperti mencintai diri sendiri, menolongnya bila dibutuhkan, tidak menimpakan keburukan atau sesuatu yang tidak disenangi, merendahkan diri dan tidak sombong kepada muslim, tidak memutuskan hubungan lebih dari tiga hari, tidak menggunjing, mengejek, memanggil dengan sebutan yang buruk, tidak mencaci dan menserca tanpa hak diwaktu hidup maupun sudah meninggal, tidak iri hati, dengki, berprasangka buruk, membenci, mencari-cari kesalahan, tidak menipu dan mengecoh, tidak boleh berlaku khianat, mendustakan, menangguhkan pembayaran hutang, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, berlaku adil terhadap diri sendiri, memaafkan salahnya dan menutupi aibnya dan memohonkan perlindungan serta mendoakannya. Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim (hadits arbain yang ke-13):
Abu Hamzah Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah SAW berkata, "Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
4) Akhlak Islami dalam pergaulan pria wanita bukan mahram
Realitas yang memprihatinkan di kalangan umat dimanapun adalah pergaulan bebas antara lawan jenis mulai dari yang paling ringan sampai yang berat. Allah sangat melarang hal ini dan ancaman dosa. Pergaulan bebas sering dilakukan oleh orang non-muslim yang mereka sudah tahu dampak secara psikologis dan kesehatan.
Secara khusus fenomena ini juga sudah menggejala di Indonesia terutama di kalangan remaja. Semakin waktu berjalan semakin banyak kita dengar hasil-hasil penelitian yang menunjukkan hubungan seks pra nikah di kalangan remaja, terutama di kota-kota besar cendrung mengalami peningkatan. Pertanyaan besar yang terpampang di depan kita adalah apa yang sedang terjadi di Indonesia dengan predikat negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia? Bukankah Islam sudah menentukan cara pergaulan yang Islami. Aturan yang sangat melindungi kemuliaan manusia dari berbagai aspek (kesehatan, psikologi, sosial, dll.). Jawaban yang akan langsung kita utarakan adalah karena umat yang demikian sudah meninggalkan aturan Islam dalam mengatur pergaulan secara khusus dan aturan Islam lainnya secara umum. Kondisi di Indonesia demikian, kemudian bagaimana kondisi umat Islam di negara-negara Barat yang bukan negara komunitas muslim dan sudah melegakan pergaulan bebas dengan lawan jenis? Tantangan yang lebih berat tentunya akan ditemukan. Untuk itu dibutuhkan sekali kemampuan menjaga diri dan mengamalkan apa yang telah dianjurkan oleh Allah SWT. dalam pergaulan.
Dalam proses perkembangan manusia secara normal setelah akil baligh mempunyai rasa ketertarikan kepada lawan jenisnya. Rasa itu tumbuh terus seiring dengan pertumbuhan usia. Kalau sedari dini diperkenalkan bagaimana pergaulan yang baik secara Islami kemudian dibekali keimanan yang kuat, maka perasaan menyukai itu akan dapat dikelola dengan baik dan diatasi dengan amal-amal yang bermanfaat dan pada masanya, rasa suka itu akan tersalurkan setelah memasuki masa pernikahan, maka orang ini akan mampu menerapkan pergaulan Islami dalam hidupnya. Namun kalau sebaliknya rasa itu dipupuk terus tanpa ada batasan-batasan, maka akan berkembang menjadi pergaulan yang bebas. Aturan Islam tidaklah menjadikan pemisahan laki-laki dan wanita didasarkan atas munculnya naluri seksual ketika mereka berinteraksi dan aturan ini juga tidaklah mengekang/mematikan gharizah an-nau ini, tetapi mengatur pemenuhannya dengan cara yang proporsional dan wajar agar menghasilkan ketenangan dan ketentraman.
Dalam aplikasi amal, salah satu faktor yang menentukan dalam menjaga supaya pergaulan sesuai dengan Islam adalah merasa selalu diawasi oleh Allah (muraqabatullah) Dengan keyakinan sepenuhnya bahwa kita selalu berada dalam pengawasan Allah SWT., maka kita akan selalu menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Dimanapun kita berada bahkan tidak seorang manusiapun melihat tingkah laku kita di sana terdapat pengawasan Allah SWT. Bukankah semut kecil yang hitam berjalan di atas batu hitam di tengah malam buta, tidak satupun manusia bisa melihat, tapi Allah-lah membuat semut itu berjalan. Maka dengan demikian kita akan selalu memproteksi diri untuk tidak keluar dari bingkai pergaulan yang telah diatur oleh Islam.
Dalam hal ini, hendaklah langkah-langkah berikut diambil dengan sangat serius:
a) Suci dari Syahwat yang Tersembunyi
Kecenderungan seseorang terhadap lawan jenis merupakan potensi kehidupan dalam hal ini adalah naluriah, naluri itu akan muncul jika ada rangsangan dari luar diri manusia, rangsangan itu bisa berupa pemikiran-pemikiran yang menjurus kepada seksualitas atau hanya berupa bacaan dan atau tontonan berbau seks. Karena hasrat seksual terdapat pada masing-masing pria dan wanita. Ini merupakan rahasia ilahi yang dititipkan Allah SWT. Pada keduanya untuk hikmah yang amat banyak. Diantaranya demi kelangsungan keturunan. Jika boleh berandai-andai, andaikata hasrat seksual itu tidak ada, apakah keturunan manusia masih bisa dipertahankan?
Dalam hukum Islam, kecenderungan dan syahwat seorang pria terhadap wanita di luar nikah adalah sama dengan perbuatan zina. Oleh karena itu nafsu birahi ketika melihat, bercakap, serta mengunjungi wanita adalah perbuatan zina. Islam menghukumnya sebagai haram karena ini merupakan langkah-langkah awal bagi seseorang untuk menuju zina yang sebenarnya.
b) Suci dari Pandangan-pandangan Birahi
Di tengah pemandangan yang serba terbuka dan telanjang ini, laki-laki dituntut untuk bisa bersikap wajar. Padahal satu hal yang bisa membangkitkan nafsu seksual laki-laki adalah ketika ia melihat kecantikan wanita, baik wajah atau anggota tubuh lainnya yang mengundang syahwat. Memandang sesuatu yang menggerakkan nafsu syahwat akan merusak pikiran dan mengotori hati. Mata bisa menjadi pintu masuknya setan untuk merusak hati. Jika pandangan terjaga maka hati terselamatkan. Allah swt. Berfirman:
•
•
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluannya..." Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman, "hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, dan ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka..." (An-Nur: 30-31)
Merendahkan pandangan merupakan termasuk adab yang diwajibkan kepada laki-laki dan perempuan dengan kadar kewajiban yang sama. Yang dimaksudkan merendahkan pandangan adalah mengatupkan kelopak mata agar tidak bisa melihat. Maksudnya adalah supaya mata terjauh dari pandangan-pandangan yang bukan haknya untuk memandang, yaitu dengan mengalihkan arah pandangan ke arah yang lain sehingga tidak ada ruang yang luas untuk mata memandang dengan terbelalak. Pandangan mata dalam Islam merupakan perkara yang sangat berat. Bahkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, perintah untuk merendahkan pandangan disebutkan sebelum perintah untuk menjaga kemaluan. Hal itu disebabkan karena pandangan mata adalah pangkal keburukan dan pintu masuk ke dalam perzinaan. Tidak akan ada perasaan cinta kecuali karena berawal dari pandangan mata.
Seorang penyair berkata:
Awalnya pandangan, lalu senyuman, kemudian sapaan
Setelah itu obrolan, lalu janjian dan akhirnya jadian….
Maka benarlah bila Nabi Saw. Menganggap pandangan sebagai anak panah iblis. Mata juga melakukan zina, yaitu zina pandangan, lalu menghujam hati, terbayang dalam pikiran, lalu tangan tergerak untuk menyentuh, hidung pun tergoda untuk mencium dan akhirnya terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi. Padahal Islam tidak hanya melarang zina, aktivitas yang mendekati zina pun dilarang seperti halnya zina mata. Allah berifrman tentang hal tersebut:
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra: 32)
c) Suci dari Sembarang Tabarruj Jahiliyah
Satu masalah yg biasa terdapat pada wanita yg tidak memiliki sifat haya' adalah tabarruj, yaitu kesukaan untuk memperlihatkan kecantikan dan perhiasan dirinya. Biasanya sikap ini bisa dilihat dari pakaian-pakaian yang berwarna-warni serta berlebih-lebihan, bersolek, hiasan rambut yang menarik, bau-bauan yang harum semerbak, serta perbuatan-perbuatan lain yang ditujukannya untuk menggoda kaum adam. Al-Quran menamakan segala perbuatan yang bertujuan untuk memikat hati serta menarik perhatian selain dari suami sebagai tabarruj jahiliyyah.
Firman Allah:
• ….
“... dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu…” (Al-Ahzab: 33)
d) Suci dari Penampakkan Aurat
Islam mengajarkan ummatnya untuk menjaga kesucian; satu ajaran yang tak didapati dalam ajaran-ajaran lain. Bagi pria dan wanita yang beriman, memakai pakaian yang menutup aurat jauh lebih penting daripada memakai pakaian-pakaian mahal. Secara jelas, Islam telah menetapkan batas-batas aurat pria dan wanita dan mewajibkan aurat ini tidak diperlihatkan kepada mereka yang bukan muhrim.
Sebagai kesimpulan, dapatlah dipahami bahwa sifat haya' menjadikan seseorang terlindung dari pencemaran kesucian dirinya. Sifat haya' adalah produk dari didikan akhlak Islami yang menjadikan seorang yang beriman bisa menghapuskan segala kecenderungan jahat yang ada dalam dirinya. Semua tindakan yang diambil Islam adalah ditujukan kepada perbaikan masyarakat sehingga kelemahan-kelemahan individu tidak meluas menjadi penyakit masyarakat. Semuanya ini bertujuan untuk menciptakan satu suasana yang menghalangi perkembangan maksiat serta gangguan-gangguan yang disebabkan oleh syahwat. sehingga Islam punya langkah preventifnya, misalnya disyariatkannya pakaian muslimah bagi perempuan (jilbab) yang tidak ketat, tidak tembus pandang, tidak menyerupai pakaian laki-laki dll (Qs. al-Ahzab: 53)
Dalam berpenampilan, Islam tidak mengharuskan hambanya untuk kumel, lecek bin dekil. Pokoknya bersih, suci dan diperoleh dari jalan halal. Itu sebabnya, remaja putri diperbolehksn memakai kerudung bermotif bunga dihiasi renda yang bagian pinggirnya dineci. Tapi tetap harus rapi sampai menutupi dada, tidak seperti kerudung gaul yang amburadul. Mengenakan jilbab (pakaian kurung yang longgar, tidak transparan, dan tidak ketat) yang melengkapi kerudung. Model atau desainnya diperbolehkan bervariasi. Motifnya pun sesuai selera, motif bunga, pohon, binatang, pemandangan, perumahan atau perkotaan itu sah-sah saja.
Untuk laki-laki juga kemana-mana tidak diharuskan memakai peci, sarung, baju koko ditambah sendal yang mencirikan muslim. Soalnya setelan seperti itu lebih mirip anak-anak yang mau ikutan sunatan massal. Memakai celana panjang, Levis, Lea, Pantalon, yang dipadukan kemeja atau kaos Dagadu, Skater atau H&R itu juga diperbolehkan, asal jangan sampai tidak memakai baju atau celana dantetap menutup aurat. Buat laki-laki yang punya janggut juga boleh dipanjangkan, asal jangan sampai dikepang karena bisa merusak pemandangan.
e) Suci dari Ikhtilat (Berdua-duaan di Tempat yang Sepi) Tanpa Adanya Muhrim
Rasulullah Saw. Bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhulwat dengan seorang wanita kecuali dengan mahram.” (HR. Bukhari)
Imam Asy-syaukani (1224) mengutip sebuah ijma’ ulama yang mengharamkan laki-laki berkhulwat dengan wanita asing. Khulwat diharamkan karena yang menjadi pihak ketiganya adalah setan. Nabi Saw. Bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali kali dia bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya adalah syaitan” (HR. Ahmad)
Islam bersikap tegas terhadap masalah ikhtilat antara laki-laki dan wanita. Islam menjaga dan menjadikan jama’ah kaum wanita terpisah dari jama’ah kaum laki-laki yang bukan mahram dalam kehidupan-kehidupan khusus di rumah, begitu pula di dalam masjid, sekolah dan lain-lain. Islam menjadikan wanita hidup di tengah-tengah kaum wanita atau mahramnya dan laki-laki hidup di tengah-tengah kaum laki-laki. Islam menjadikan shaf sholat kaum wanita dibagian belakang dari shaf sholat kaum laki-laki. Namun demikian seorang wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya dan setelah itu kembali bersama kaum wanita atau mahramnya.
f) Suci dari Berkata-kata dengan Manja bagi Wanita terhadap Laki-laki yang Bukan Mahramnya
• • •• •
“…, Jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya….” (QS. Al-Ahzaab: 32)
Maka dari itulah, para wanita tidak diperkenankan untuk melembut-lembutkan suaranya, seperti halnya wanita-wanita penghibur yang sedang berusaha merayu mangsanya. Islam melarang wanita berkata-kata dengan manja karena hal itu mampu mempengaruhi hati laki-laki. Ada satu pepatah yang mengatakan bahwa Kadangkala telinga terbuai sebelum mata terbuai.
Dikutip dari Zubdat At-Tafsir karangan Muhammad Sulaiman Al-Asyqar halaman 462:
Az-Zujjaj berkata, “Mendengarkan suara-suara (wanita) itu lebih kuat pengaruhnya terhadap syahwat daripada melihat(orang)nya.”
g) Hendaknya Wanita Tidak Memakai Parfum Ketika Keluar Rumah
Parfum yang dipakai oleh seorang wanita bisa menimbulkan fitnah yang lebih besar daripada fitnah yang yang disebabkan oleh suara atau pandangan. Parfum sering sekali menarik perhatian dan menimbulkan syahwat. Rasulullah Saw. Bersabda:
“Setiap mata bisa berbuat zina. Jika wanita memakai minyak wangi lalu melintas di depan sekumpulan laki-laki, maka dia juga telah berzina.” (HR. Tirmidzi)
“Apabila ada perempuan memakai wewangian, kemudian lewat di suatu kaum, dan supaya kaum tersebut mencium wewangiannya, maka wanita tersebut pelacur. (terj. HR. Annassai)
Akan tetapi larangan ini tidak lantas membiarkan wanita untuk acuh dan tidak menghiraukan penampilannya. Islam merupakan agama yang indah, maka wanita tetap boleh berhias sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita yang menyukai keindahan untuk menjaga penampilannya tapi tetap dalam tatanan syariat agama Islam, karena Allah pun sangat menyukai keindahan.
h) Hendaknya Wanita Tidak Bepergian Sendiri Tanpa Mahramnya
“Tiada dihalalkan bagi seorang wanita yang percaya kepada Allah dan hari kemudian bepergian perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya” (Buhkori Muslim)
Mahram di sini tidak hanya berarti suami atau orang yang memiliki hubungan darah yang kuat, akan tetapi teman atau sahabat se-Ukhuwah juga merupakan mahram (bukan untuk yang berlainan jenis).
5) Menanamkan Rasa Malu
Malu timbul manakala seseorang merasa tak enak hati karena melakukan perbuatan buruk dan tercela. Perasaan malu juga muncul bila melakukan perbuatan yang bersebrangan dengan norma-norma sosial, etika dan agama. Jadi malu merupakan sifat terpuji. Malu bisa mencegah seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan.
Kadang ada sebagian orang yang salah menempatkan rasa malu, orang tersebut justru malu untuk berbuat kebaikan. Padahal sebenarnya itu bukan malu, karena yang lebih tepatnya adalah perasaan minder dari orang itu sendiri, misalnya malu untuk mengikuti pengajian atau malu untuk bersedekah.
“Hendaknya kalian benar-benar merasa malu kepada Allah!” Kami (para sahabat) berkata, “Rasulullah, Alhamdulillah kami ini masih punya rasa malu.” Beliau berkata, “Bukan begitu. Maksud benar-benar malu kepada Allah adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang ada padanya serta menjaga perut dan apa yang ada padanya. Dan hendaklah kamu mengingat kematian dan keusangan. Siapapun yang menginginkan akhirat, tinggalkan gemerlap dunia. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, berarti dia telah benar-benar merasa malu kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Hilangnya rasa malu menandakan hilangnya iman seseorang. Karena: “Iman itu ada enam puluh cabang. Malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Bukhari) Dengan mengandalkan perasaan malu, semua cabang iman yang lainnya akan tergapai.
Nabi Saw. Bersabda: “Malu, semuanya baik.” (HR. Muslim)
“Malu dan iman adalah sejoli, jika salah satunya hilang, maka yang lain akan ikut hilang.” (HR. Al-Hakim Al-Mustadrak)
Seorang mukmin akan menjauhi perbuatan dosa jika ia merasa malu kepada orang lain, dirinya sendiri dan terhadap Allah swt. Sebagai Djat Yang Mahatahu. Pada saat orang beriman melakukan suatu kemaksiatan, maka ia telah kehilangan rasa malu dari dalam dirinya dan itu berarti pula bahwa orang tersebut telah kehilangan sebagian imannya. Maka maraknya kemaksiatan jelas disebabkan oleh hilangnya rasa malu. Alih-alih memberantas kemaksitan, prostitusi malah dilokalisasi, judi dilegalisasi. Hilangnya malu membuat kejahatan merajalela, korupsi kian kronis, maksiat jadi kebanggaan. Bila rasa malu hilang, sifat-sifat luhur manusia juga akan hilang. Tinggallah monyet-monyet berwujud manusia yang ada.
Nabi Saw. Bersabda, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah apa yang engkau kehendaki.” (HR. Bukhari)
Jika perasaan malu telah hilang dari dalam jiwa kita, maka kita tinggal menunggu saat-saat kehancuran yang akan datang. Nabi Saw. Bersabda: “Sesungguhnya jika Allah ingin menghancurkan seorang hamba, Dia akan mencabut peraan malu dari dalam dirinya. Jika perasaan malu itu telah hilang dari dalam dirinya, kamu tidak akan mendapatinya kecuali dalam keadaan dibenci dan membenci. Jika kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan dibenci dan membenci, maka amanah akan dicabut dari dirinya. Jika amanah telah dicabut dari dirinya, kamu tidak akan mendapatinya kecuali ia telah menjadi seorang pengkhianat dan dikhianati. Jika telah menjadi seorang pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat akan dicabut dari dirinya. Jika rahmat telah dicabut dari dirinya, kamu tidak akan mendapatinya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat. Jika kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan terkutuk dan terlaknat, maka ikatan islam akan dicabut dari dalam dirinya.” (HR. Ibnu Majah)
Nabi Saw. Menegaskan bahwa malu adalah akhlak yang paling mulia di sisi Allah. Sabdanya: “Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu.” ()HR. Ibnu Majah)
Hal ini menunjukkan betapa tingginya tingkatan rasa malu dalam mempengaruhi tingkatan iman seseorang. Akan tetapi, ketika orang terlena dan terlupa pada dosa-dosa yang telah ia perbuat sehingga dia mampu tertawa dan tersenyum di atas dosa yang telah diperbuatnya. Maka orang tersebut telah jatuh pada lubang kehinaan dan akan mendapatkan dosa yang lebih besar nilainya dari dosa yang telah ia perbuat.
Ibnu Qayyim mengatakan:
“Kebahagiaanmu atas dosa yang dilakukan adalah lebih besar menurut Allah daripada dosa itu. Tertawamu atas dosa yang dilakukan lebih besar menurut Allah daripada dosa itu. Kesedihanmu karena tidak berbuat dosa lebih besar menurut Allah daripada dosa itu sendiri. Menjaga rahasia dosa yang kamu lakukan dan hatimu tidak bergetar sama sekali lebih besar menurut Allah daripada dosa itu sendiri.”
6) Membentuk Pola Pikir Islam yang Kuat
Membentuk pola pikir Islam dengan sering mengisi otak dengan informasi Islam, baik lewat membaca atau mengkajinya. Sedangkan ukuran terbentuknya pola pikir Islam dalam diri remaja adalah kemampuan remaja untuk menilai setiap pemikiran, fakta dan realita serta kejadian berdasarkan standar Islam, kemudian menjadikan pemahamannya sebagai bentuk praktis dalam aktivitasnya, sampai tertanam dalam dirinya pola sikap Islam, yaitu kecenderungan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu yang berdasarkan Islam. Sehingga remaja akan memiliki kepribadian Islam yang kaffah yang mampu menilai dan menyikapi setiap pemikiran, fakta dan peristiwa atau kejadian yang berkembang di masyarakat.
Upaya ini dapat dilakukan, baik oleh remaja yang telah memiliki kesadaran Islam yang tinggi, keluarga dan masyarakat, serta negara secara serentak. Remaja mentranformasikan pemahaman keislaman yang kaffah kepada remaja yang lain, keluarga memberikan perhatian dan suri tauladan kepada remaja dari pelaksanaan nilai-nilai Islam, masyarakat mengambil peran kontrol terhadap pola pola perilaku remaja, dan negara beserta perangkatnya -melalui institusi atau undang-undang beserta sanksi-sanksinya- melaksanakannya dengan tegas dan memberikan sanksi/hukuman terhadap segala bentuk kemaksiatan (segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam).
7) Memperlihatkan bahwa Gaul Syar’i Tetap Trendi
Tidak ada kebebasan individu yang bersifat mutlak. Setiap orang bebas bersikap dan mengekspresikan keinginannya sepanjang tidak menggangu orang lain dan melanggar norma yang berlaku di sekitarnya. Orang yang telah memilih dan menetapkan Islam sebagai agamanya, maka harus siap untuk mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh Agama Islam tanpa merasa bahwa aturan-aturan itu membatasi kebebasannya atau tidak. Karena sesuatu yang kita pandang baik, belum tentu baik di mata Allah.
Allah Swt berfirman,
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 216)
Ayat di atas menjelaskan bahwa semua aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya merupakan The Best Choice untuk kita sebagai umat manusia. Dengan kata lain, kita masih bisa tampil trendi dengan tetap mendahulukan syariat agama Islam. Pastinya kita sebagai generasi Islam yang hidup di zaman yang serba teknologi seperti sekarang harus tetap mengikuti perkembangan yang ada. Karena kita mempunyai peran untuk mengembalikan kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Kita tidak boleh sampai dibilang gagap teknologi dan minim informasi karena kita jarang gaul. Jangan sampai dianggap asing oleh umat kayak Tarzan tour ke Metropolitan. Memang, pergaulan remaja sekarang sudah tidak Islami. Tapi bukan berarti kita harus menutup diri dan menjauh dari pergaulan. Tetap saja ada kewajiban bagi kita untuk memperhatikan kondisi saudara-saudara kita. Islam tidak mengharamkan kita untuk mempunyai HP atau Ponsel terbaru yang bisa SMS, EMS, atau MMS yang dilengkapi kamera, radio, atau internet. Akan tetapi, kemampuan kita berpenampilan trendi atau kecanggihan teknologi yang kita punya jangan sampai membuat kita menjadi sombong atau arogan. Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan ada kesombongan (meski hanya) seberat dzarrah. Lalu seorang sahabat bertanya, “ada kalanya seseorang menyukai pakaian yang indah dan sepatu yang bagus.” Maka Rasulullah Saw. Menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (HR Bukhari)
Kita boleh mencari informasi seputar kehidupan selebritis, film baru yang lagi diputar di twenty one atau musik yang lagi banyak digandrungi. Biar tidak ketinggalan informasi tapi kita tetap harus mabda’i atau ideologis. Artinya, ketika gaul tentang segala hal, jadikan sebagai informasi pelengkap untuk dianalisis dan kita sampaikan lagi ke orang lain dengan sudut pandang Islam. Sehingga kita akan terjauh dari trend-trend yang tidak ada manfaatnya. Apalagi sampai terjerumus ke dalam pola hidup Barat yang sekuler. Islam sebagai sebuah ideologi. Islam sebagai sebuah aturan hidup yang bisa memfilter budaya sekular dan ide-ide rusak yang berasal dari Barat. Tidak hanya itu, sebagai sebuah ideologi, Islam juga mampu membimbing kita dalam memecahkan setiap masalah yang kita hadapi.
8) Memelihara Kesucian Diri (Al-‘Ifafah)
Menjaga kesucian diri merupakan akhlakul karimah yang dituntut dalam ajaran agama Islam. Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan hendaklah dilakukan setiap waktu. Hal yang termasuk dalam memelihara kesucian diri adalah:
• Memelihara kesucian qalbu (hati) untuk tidak membuat rencana atau angan-angan yang buruk.
Allah berfirman:
“Berbahagialah orang yang membersihkan jiwanya.” (QS. Asy-syams: 9)
• Memelihara lidah dan anggota badan dari segala perbuatan yang tercela karena selalu merasa bahwa setiap langkah dan gerak gerik yang diperbuat berada dalam pengawasan Allah SWT.
Allah SWT. Berfirman:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4)
9) Langkah-langkah dalam Mengatasi Virus Merah Jambu yang Melanda Hati
Rasa cinta itu unik. Tidak mengenal status seseorang dan juga dating tanpa diundang. Hadir dalam jiwa, menggerogoti hati, mengaduk-mengaduk perasaan, yang akhirnya muncul rasa suka dan rindu. Cinta pasti dimiliki oleh seluruh manusia, termasuk hewan. Allah memberikan rasa itu kepada manusia untuk menyelamatkan populasi manusia agar tidak musnah dari dunia ini. Firman Allah Swt.:
••
“Dijadikan indah pada [pandangan] manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak ….” (QS. Ali Imraan: 14)
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, “Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Kebanyakan orang hanya memberikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan, kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)
Pembagian Cinta
a. Cinta ibadah
Yaitu kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya. Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga. Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.
Indahnya Mencintai Allah Swt.
• Sebagai Hiburan Ketika Tertimpa Musibah
Berkata Ibnu Qayyim, “Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38)
• Menghalangi Dari Perbuatan Maksiat
Berkata Ibnu Qayyim ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah: “Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah. Dan ada perbedaan antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya. Sampai pada ucapan beliau, “Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya. Dan di antara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya.” (Thariqul Hijratain, hal 449-450)
• Menghilangkan Perasaan Was-Was
Berkata Ibnu Qayyim, “Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbe-daan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya. Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)
• Merupakan Kesempurnaan Nikmat dan Puncak Kesenangan
Berkata Ibn Qayyim, “Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta’ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencintai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan dan menjadi khayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya. Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula penghambaan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya.” (Ighatsatul-Lahfan, hal: 567)
b. Cinta yang sesuai dengan tabi’at (manusiawi)
yaitu cinta karena Allah terhadap sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya, dalam rangka mencintai Allah. Yang termasuk ke dalam cinta jenis ini ialah:
• Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.
• Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya dan yang semisalnya.
• Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.
Banyak sekali orang yang salah mengartikan cinta terhadap lawan jenisnya, banyak sekali cinta yang berkembang bukan pada waktu yang tepat. Maka dari itu ketika benih-benih cinta mulai terasa, ikutilah langkah-langkah di bawah ini:
- Mengurangi Frekuensi Pertemuan yang Kurang Bermanfaat
Memang, kalau benih-benih cinta sudah terasa, berpisah sejam serasa setahun. Setiap detik ingin bertemu. Padahal It’s not good for your health! Perbuatan seperti itu bukannya meredam gejolak, tapi akan memperparah suasana hati kita. Pikiran dan konsentrasi kita akan semakin tak karuan. Selain itu bukan mustahil kalau kebaikan yang kita kerjakan jadi tidak ikhlas karena Allah. Maka dari itu, mengurangi frekuensi pertemuan, adalah jalan yang paling tepat.
- Kurangi Berhubungan
Frekuensi pertemuan dikurangi, akan tetapi hubungan via surat atau via HP masih dilakukan. Memang hal-hal tersebut tidak termasuk pad Khalwat, akan tetapi aktifitas seperti itu juga mampu menimbulkan benih-benih virus merah jambu, yang kita tidak tahu kapan datang menyerang. Oleh karena itu, hindari hubungan-hubungan yang kurang ada manfaatnya.
- Menjaga Hati
Bisikan setan akan tetap berlaku bagi siapa saja, tanpa mengenal strata social atau apa pun itu namanya.. Bahkan boleh jadi makin kuat komporannya bagi orang-orang yang lebih paham terhadap pemahaman agama. Itu sebabnya, kalau hati terasa panas karena terpanah virus merah jambu itu, dinginkan hati dengan banyak mengingat Allah. Mengingat dosa-dosa yang udah kita lakukan ketika sholat dan membaca al-Quran. Firman Allah Swt.:
“Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (ar-Ra’du: 28)
C. KEMISKINAN DAN MORALITAS
a. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingakat kepadatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan kondidsi lingkungan titik.
Mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan. Definisi kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermatabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi difahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Kemiskinan adalah satu permasalahan global yang masih menghantui umat Islam di seluruh dunia semenjak dahulu hingga kini. Kemelut ini seringkali meletakkan umat Islam di kancah kehinaan. Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menegaskan, “tidak ada cabaran yang paling hebat melanda dunia Islam hari ini selain daripada kemiskinan yang menyebabkan agama itu dan umatnya dipandang rendah serta diperlekehkan” (Utusan Malaysia, 18hb Februari 2005). Berbagai pendapat di utarakan dan bermacam pendekatan telah dan sedang dibincangkan terutamanya di sidang-sidang kemuncak peringkat dunia (world summit) yang mana, matlamat akhirnya adalah untuk mencari jalan penyelesaian paling berkesan untuk mengurangkan kadar kemiskinan. Akhbar itu juga memetik PM sebagai berkata ”Tidak ada yang menjatuhkan maruah, imej dan pengaruh umat Islam melainkan kemiskinan. Negara-negara miskin dengan rakyatnya yang lemah akan dipandang rendah, dieksploitasi dan diketepikan, ujarnya sambil menambah hanya kekayaan dan kemajuan akan menjadikan dunia Islam dihormati dan dipandang tinggi”.
Sedangkan pengertian kemiskinan menurut Kapitalis adalah: Kemiskinan biasanya ditakrifkan secara relatif mengikut keadaan masyarakat di sesebuah negara. Dua konsep kemiskinan yang biasa digunakan adalah kemiskinan mutlak yaitu konsep cukup makan dan kemiskinan relatif iaitu konsep ketidaksamaan pendapatan. Pengukuran yang kerap digunakan bagi mengukur kemiskinan mutlak adalah kadar kemiskinan iaitu peratusan penduduk atau isi rumah yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan Mutlak adalah suatu keadaan yang mana pendapatan kasar bulanan tidak mencukupi untuk membeli keperluan minimum sesebuah isi rumah yang diukur berdasarkan tahap perbelanjaan minimum atau Pendapatan Garis Kemiskinan (PGK). Kemiskinan Relatif adalah ketidaksamaan pendapatan antara kumpulan. Ia diukur dengan menggunakan nisbah perbezaan pendapatan kumpulan pendapatan, kumpulan etnik dan penghuni bandar serta luar bandar. Satu lagi pengukur kemiskinan relatif yang sering digunakan adalah peratus isi rumah dengan pendapatan misalnya kurang daripada separuh pendapatan penengah atau purata.
Pengertian Kemiskinan Menurut Islam
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
“…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad [90]: 16).
Adapun kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah Swt. berfirman:
فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ….
…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash [28]:24).
Dalam pengertian yang lebih definitif, Syekh An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. . Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah [9]: 60. Sedangkan dijelaskan dalam surat Al-Baqarah mengenai pengertian faqir adalah:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
‘Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui’
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut mana pun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis, pengemban sistem ekonomi Kapitalis, memiliki gambaran/fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang ataupun jasa secara mutlak. Karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang ataupun jasa, maka –mereka menganggap–usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itu pun mengalami perkembangan dan perbedaan.
Akibatnya, standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasa yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Pada saat yang sama, di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini–meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja di mana pun–akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan.
Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat fakta kefakiran/kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan, pada zaman kapan pun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas problem kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat manusia, baik itu muslim maupun bukan muslim.
Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Memang benar, kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari syaitan. Allah SWT berfirman:
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Syaitan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat yang keji dan Allah menjanjikan kepadamuampunan dan kurnia; dan Allah Maha Luas (kurniaNya) dan Maha Mengetahui” (Al-Baqarah[2]: 268)
Disebabkan itulah, Islam sebagai risalah syumul dan sebuah ideologi yang sahih, sangat prihatin terhadap masalah kemisikinan dan usaha-usaha mengatasinya. Dalam fiqih, dibedakan antara istilah fakir dan miskin yang mana fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi keperluan pokoknya sedangkan miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.
Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang punggungnya.
Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.
Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.
Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, menulis:
Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan
seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam,
sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim),
menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak
bertempat tinggal) dan membujang.
b. Penyebab kemiskinan
Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural, disebabkan oleh penerapan sistem Kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam beberapa hal, antara lain:
Peran Negara
Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi badan usaha milik negara.
Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.
Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya
للَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. QS. 30:40
Pada saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizki-nya masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS20:118-119).
Dalam perspektif Islam, kemiskinan timbul karena berbagai sebab struktural. Pertama, kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam (QS 30:41)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Kedua, kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Hal ini tergambar dalam kisah Fir’aun, Haman, dan Qarun yang bersekutu dalam menindas rakyat Mesir di masa hidup Nabi Musa (QS 28:1-88). Ketiga, kemiskinan timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin. Bencana alam yang memiskinkan ini seperti yang menimpa kaum Saba (QS 34: 14-15) atau peperangan yang menciptakan para pengungsi miskin yang terusir darinegeri-nya(QS59:8-9).
Dalam pemaparan lain factor penyebab kemiskinan adalah dengan Memperhatikan akar kata "miskin" yang disebut di atas sebagai berarti diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa factor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan manusia 1ain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang arti harfiahnya adalah yang bergerak.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang
menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6).
Ayat ini "menjamin" siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).(Ibrahim [14]: 34).
Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan aneka nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya. Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia berusaha. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap pihak lain, dan sikapnya terhadap dirinya itulah yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam tersebut.
Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu, yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan alternative pengganti. Dan kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap kufur.
C. Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَ]اللهُ زَقَكُمْ[
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (QS ar-Ruum [30]: 40).
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
“Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (QS Hud [11]: 6).
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah. Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, batil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang sahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri atas pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut, selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat, sehingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
“Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:“Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya”.
Ayat dan hadis di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (QS al-Baqarah [2]: 233).
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya, lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan” (HR Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta ketika manusia (dengan keadaan yang dimilikinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standar masyarakat sekitarnya
Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib.
Sebelum menguraikan cara kedua ini, perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi, tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan.
Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.
Dalam hal ini, Al-Quran walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan:
Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang
meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak
meminta) (QS Al-Dzariyat [51]: 19).
Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan "paksaan" kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya. Dalam konteks inilah Al-Quran menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya.
c. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Imam Muslim).
Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt. berfirman:
……إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (QS at-Taubah [9]: 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
“Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian” (QS adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah saw. juga bersabda:
“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Imam Ahmad).
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR al-Bazzar).
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya hingga mencukupi.
2. Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
a. Jenis-jenis Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
•Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu
Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
Kepemilikan umum adalah izin dari Allah Swt. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap[4], misalnya padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[5], misalnya sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum.
Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala Negara Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
b. Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal). Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
1). Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.
3. Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah saw.:
“Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:
“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja”
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga kemiskinan dapat teratasi.
4. Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
5. Zakat
Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat disimpulkan bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga berdasarkan istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah) dan persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan.
Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka. Bukankah hasil-hasil produksi, apa pun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki Tuhan? Bukankah manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan lain yang sebelumnya telah diciptakan Allah? Seorang petani
berhasil dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan, yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut, dengan kata lain "masyarakat". Pedagang demikian pula halnya.
Siapa yang menjual dan siapa pula yang membeli kalau bukan
orang lain?
Jelas sudah bahwa keberhasilan orang kaya adalah atas
keterlibatan banyak pihak, termasuk para fakir miskin:
"Kalian mendapat kemenangan dan kecukupan berkat
orang-orang lemah di antara kalian." Demikian Nabi Saw.
bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud
melalui Abu Ad-Darda'.
Kalau demikian, wajar jika Allah Swt. sebagai pemilik segala sesuatu, mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian harta mereka untuk orang yang memerlukan.
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ
إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu (QS Muhammad [47]: 36-37).
D. Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.” Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya. Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam teori komunikasi dikatakan bahwa pergaulan adalah terjadinya hubungan diantara lawan jenis dan sejenisnya sebagai akibat dari kontak sosial seperti berpandangan, berbicara atau ngobrol, bersentuhan, dsb. (Asgun:19).
Pergaulan bebas adalah terjadinya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah melebihi batas-batas kewajaran dan norma-norma agama, sosial, dan hukum. (Asgun:20). Pergaulan bebas bisa disebut juga Perilaku menyimpang yang secara sosiologis dan generallly dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.(Yahoo_answer).
Faktor yang menyebabkan pergaulan bebas itu terjadi adalah:
a. Kurangnya perhatian dari orang tua
b. Penerimaan dalam kelompok
c. Kurangnya aqidah
d. Ketidamampuan memanfaatkan waktu luang
e. Maraknya pornoaksi dan pornografi
f. Faktor ekonomi
Sedangkan cara Islam mengatasi pergaulan bebas adalah dengan cara:
1. Menanamkan Pendidikan Aqidah yang Kuat di dalam Keluarga
2. Berada pada Lingkungan Masyarakat yang Kondusif yang Mampu Berperan sebagai “polisi sosial”
3. Adanya Peranan yang Berarti dari Institusi Negara
4. Menanamkan Cara Bergaul Islami
5. Menanamkan Rasa Malu
6. Membentuk Pola Pikir Islam yang Kuat
7. Memperlihatkan bahwa Gaul Syar’i Tetap Trendi
8. Memelihara Kesucian Diri (Al-‘Ifafah)
9. Langkah-langkah dalam Mengatasi Virus Merah Jambu yang Melanda Hati
Salah satu penyebab perilaku menyimpang adalah kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.
Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang punggungnya.
Factor yang menyebabkan kemiskinan:
a. Sesuai dengan kata aslinya yaitu ‘sakana’ yang artinya diam, kemiskinan disebabkan karena hanya berdiam diri dan tidak ada usaha.
b. Adanya ketidakrataan kepemilikan.
c. Sentralisasi kekuasaan pemerintah, sehingga tidak merata’y pemenuhan kebutuhan masyarakat.
d. Kurangnya ilmu pengetahuan
e. Kurangnya keimanan dan ‘aqidah yang menyimpang sehingga menyebabkan miskin hati.
f. Kesadaran tolong-menolong terhadap sesama sangat minor.
g. Adanya keserakahan
Sedangkan cara Islam mengatasi kemiskinan adalah:
a. Adanya jaminan kekeluargaan dan tolong-menolong
b. Diberlakukannya zakat’ infaq dan Shodaqoh
c. Menjujung tinggi pendidikan
d. Adanya anjuran untuk mencari kasab (pekerjaan yang menghasilkan), seperti berdagang dan mengharamkan Riba.
e. Mewajibkan umatnya untuk menjadi mu’min yang kuat dalam segala hal, diantaranya ekonomi.
f. Anjuran untuk bersyukur, qonq’qh, ikhtiyar dan tawakal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar