BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Seperti yang kita ketahui, teknologi kini telah merembes dalam kehidupan kebanyakan manusia bahkan dari kalangan atas hingga menengah kebawah sekalipun. Dimana upaya tersebut merupakan cara atau jalan di dalam mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat martabat manusia.
Atas dasar kreatifitas akalnya, manusia mengembangkan IPTEK dalam rangka untuk mengolah SDA yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dimana dalam pengembangan IPTEK harus didasarkan terhadap moral dan kemanusiaan yang adil dan beradab, agar semua masyarakat mengecap IPTEK secara merata. Begitu juga diharapkan SDM nya bisa lebih baik lagi, apalagi banyak kemudahan yang kita dapatkan. Namun, berbanding terbalik dengan realita yang ada karena semakin canggih perkembangan teknologi, telah membuat masyarakat menjadi malas yang disebabkan oleh kemudahan-kemudahan yang ada tersebut.
Disatu sisi telah terjadi perkembangan yang sangat baik sekali di aspek telekomunikasi, namun pelaksanaan pembangunan IPTEK masih belum merata. Masih banyak masyarakat kurang mampu yang putus harapannya untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi tersebut. Hal itu dikarenakan tingginya biaya pendidikan yang harus mereka tanggung. Maka dari itu, pemerintah perlu menyikapi dan menanggapi masalah-masalah tersebut, agar peranan IPTEK dapat bertujuan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada yang Islami.
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh perdaban barat satu abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan iptek modern membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya hidup peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis trhadap segala dampak negatif yang diakibatkanya.
Pada dasarnya kita hidup di dunia ini tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada banyak cara untuk beribadah kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, dan menuntut ilmu. Menuntut ilmu ini hukumnya wajib. Seperti sabda Rasulullah SAW: “ menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban atas setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Ilmu adalah kehidupanya islam dan kehidupanya keimanan.
2. PERMASALAHAN.
Yang menjadi permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu :
Apakah pengertian IPTEK dan apa kaitannya dengan Islam ?
Bagaimana pandangan Islam terhadap IPTEK ?
Apa saja dampak yang timbul dari pengembangan IPTEK ?
Bagaimana cara menerapkan alternatif IPTEK yang Islami ?
3. TUJUAN
Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu :
Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang IPTEK dalam paradigma Islam.
Agar mengetahui dampak positif dan negatif dari pengembangan IPTEK.
Untuk bisa membedakan bagaimana alternatif IPTEK yang Islami dan tidak.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN IPTEK DAN KAITANNYA DENGAN ISLAM
Perkembangan dunia iptek yang demikian pesatnya telah membawa manfaat luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Sistem kerja robotis telah mengalihfungsikan tenaga otot manusia dengan pembesaran dan percepatan yang menakjubkan.
Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi baru aneka kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Ringkas kata, kemajuan iptek yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia.
Bagi masyarakat sekarang, iptek sudah merupakan suatu religion. Pengembangan iptek dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan memuja iptek sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Iptek diyakini akan memberi umat manusia kesehatan, kebahagiaan dan imortalitas. Sumbangan iptek terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan kenyataan bahwa iptek mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi manusia. Dalam peradaban modern yang muda, terlalu sering manusia terhenyak oleh disilusi dari dampak negatif iptek terhadap kehidupan umat manusia. Kalaupun iptek mampu mengungkap semua tabir rahasia alam dan kehidupan, tidak berarti iptek sinonim dengan kebenaran. Sebab iptek hanya mampu menampilkan kenyataan. Kebenaran yang manusiawi haruslah lebih dari sekedar kenyataan obyektif. Kebenaran harus mencakup pula unsur keadilan.
Dengan pesatnya kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) diperlukan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan Iptek untuk memperkuat posisi daya saing Indonesia dalam kehidupan global.
Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 mengamanatkan bahwa untuk mempercepat pencapaian tujuan negara sebagaimana disebutkan pada Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia harus menyadari pentingnya fungsi dan peran Iptek, serta secara sungguh?sungguh melaksanakan langkah-langkah dalam memperkuat penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan Iptek.
Untuk itu, disusun Undang?Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dikenal dengan Sisnas Iptek atau Sisnas P3 Iptek dan diberlakulkan sejak 29 Juli 2002.
Sisnas P3 Iptek dikembangkan berdasar asas Iman dan Taqwa (IMTAQ) kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanggung jawab negara, kesisteman dan percepatan, kebenaran ilmiah, kebebasan berfikir, kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab akademis; dengan tujuan memperkuat daya dukung Iptek bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan intemasional.
A. Definisi IPTEK
Teknologi itu sendiri adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya.
Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method), sedangkan teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek.
Bagi masyarakat sekarang, iptek sudah merupakan suatu religion. Pengembangan iptek dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan memuja iptek sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Iptek diyakini akan memberi umat manusia kesehatan, kebahagiaan dan imortalitas. Sumbangan iptek terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan kenyataan bahwa iptek mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi manusia. Dalam peradaban modern yang muda, terlalu sering manusia terhenyak oleh disilusi dari dampak negatif iptek terhadap kehidupan umat manusia. Kalaupun iptek mampu mengungkap semua tabir rahasia alam dan kehidupan, tidak berarti iptek sinonim dengan kebenaran. Sebab iptek hanya mampu menampilkan kenyataan. Kebenaran yang manusiawi haruslah lebih dari sekedar kenyataan obyektif. Kebenaran harus mencakup pula unsur keadilan.
Menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang teknologi, mengundang kita menengok kepada sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan alam raya. Menurut para Ulama terdapat sekitar 750 ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, dan memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Secara tegas dan berulang – ulang, Al-Qur’an menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah bagi manusia.
“Dia telah menundukkan untuk kamu apa yang ada dilangit dan apa yang aada di bumi semuanya ( sebagai anugrah ) dari-Nya.” ( Q.S. Al-Jatsiyah [45]:13 ).
Adanya potensi dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya untuk membangkang perintah-Nya, kesemuanya mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan yang ditundukkan Tuhan itu. Keberhasilan memanfaatkan alam itulah buah teknologi. Al-Qur’an memuji sekelompok manusia yang dinamainya Ulul Albab.
Ciri mereka antara lain dilukiskan oleh Q.S. Al-Imran [3]: 190-195.
“Sesungguhnya dalam penciptaan dan bumi dan silih bergantiya malam dan siang terdapat tanda-tanda Ulil Albab. Yaitu mereka yang berdzikir ( mengingat ) Allah sambil berdiri, atau duduk, atau berbaring dan mereka yang berfikir tentang khaleq ( kejadian ) langit dan bumi…”.
Dalam ayat diatas tergambar dua ciri pokok, yaitu Tafakur dan Dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan “ Natijah”. Natijah yang dimaksud bukan sekedar ide-ide yang tersusun dalam benak, tetapi juga melampauinya sampai pada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Quthub dan kitabnya “ Manhaj Attarbiyah Al-Islamiyah” mengomentari ayat Al-Imran diatas sebagai berikut : Ayat –ayat tersebut menggambarkan secara sempurna metoda penalaran dan pengamatan Islami terhadap alam,.. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertamanya diantara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji dialam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakkur dan berakhir dengan amal.
Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantar ilmuan kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan pada penciptaan teknologi yang menghsilkan kemudahan dan manfaat bagi manusia.
Disini kita menoleh kepada teknologi dan hasil-hasil yang telah dipersembahkannya. Kalaulah untuk mudahnya kita jadikan alat atau mesin sebagai gambaran kongkrit tentag teknologi. Mesin- mesin dari hari ke hari semakin canggih. Mesin-mesin tersebut dengan bantuan manusia bergabung satu dengan lainnya. Sehingga ia semakin kompleks, ia tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang, namun ia dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan banyak orang. Dalam tahap ini, mesin telah menjadi semacam “serteru” manusia, atau hewan yang harus disiasati agar ia mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini, lahir teknologi, khususnya dibidang rekayasa genetika, yang dapat mengarah untuk menjadikan alat sebagai bantuan, bahkan menciptakan bakal-bakal alat yang akan diperbudak dan tunduk kepada alat. Tetapi jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia dari asal tujuan penciptaan, maka sejak dini Islam menolak kehadiran hasil-hasil teknologi.
Karena itu menjadi persoalan bagi martabat kemanusiaan bagaimana memadukan kemampuan mekanik manusia untuk menciptakan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi sehingga dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbany, atau dengan kata lain bagaimana memadukan antara fikir , dzikir, ilmu, dan iman.
Peran Islam dalam hal perkembangan iptek ini adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
B. Sejarah IPTEK dalam Islam
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan–, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw — yang dipelajari melalui agama– , adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah swt, maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
Mengapa kita harus menguasai IPTEK? Terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini fakta, tdk bisa dipungkiri.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Quran, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa “serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia”, dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar “kedudukan kaum Muslim di Eropa” dan “dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim.”
Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul “Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa” membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
2. PANDANGAN ISLAM TERHADAP IPTEK
Setiap manusia diberikan hidayah dari Allah swt berupa “alat” untuk mencapai dan membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau kemampuan rasional yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus bermoral.
Dalam menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani (1995), dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya.
Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt. Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:
(a) berseberangan atau bertentangan,
(b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
(c) tidak bertentangan satu sama lain,
(d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.
Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama. Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak sebaliknya terjadi. Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
Adapun alasan mengapa kita harus menguasai IPTEK, terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1. Ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini fakta, tidak bisa dipungkiri.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya, misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
3. DAMPAK PENGEMBANGAN IPTEK
Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap Iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.
Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugrah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan uamt manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
a. Bidang Sosial dan Budaya
• Dampak positif
Akibat kemajuan teknologi bisa kita lihat
1. Perbedaan kepribadian pria dan wanita. Banyak pakar yang berpendapat bahwa kini semakin besar porsi wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin, baik dalam dunia pemerintahan maupun dalam dunia bisnis. Bahkan perubahan perilaku ke arah perilaku yang sebelumnya merupakan pekerjaan pria semakin menonjol.Data yang tertulis dalam buku Megatrend for Women:From Liberation to Leadership yang ditulis oleh Patricia Aburdene & John Naisbitt (1993) menunjukkan bahwa peran wanita dalam kepemimpinan semakin membesar. Semakin banyak wanita yang memasuki bidang politik, sebagai anggota parlemen, senator, gubernur, menteri, dan berbagai jabatan penting lainnya.
2. Meningkatnya rasa percaya diri Kemajuan ekonomi di negara-negara Asia melahirkan fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan rasa percaya diri dan ketahanan diri sebagai suatu bangsa akan semakin kokoh. Bangsa-bangsa Barat tidak lagi dapat melecehkan bangsa-bangsa Asia.
3 Tekanan, kompetisi yang tajam di pelbagai aspek kehidupan sebagai konsekuensi globalisasi, akan melahirkan generasi yang disiplin, tekun dan pekerja keras Meskipun demikian kemajuan teknologi akan berpengaruh negatip pada aspek budaya:
• Dampak negatif
1. Kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar. Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi “kaya dalam materi tetapi miskin dalam rohani”.
2. Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan tolong-menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat lanjut bisa dilihat bersama, kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian, corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.
3. Pola interaksi antar manusia yang berubah Kehadiran komputer pada kebanyakan rumah tangga golongan menengah ke atas telah merubah pola interaksi keluarga. Komputer yang disambungkan dengan telpon telah membuka peluang bagi siapa saja untuk berhubungan dengan dunia luar. Program internet relay chatting (IRC), internet, dan e-mail telah membuat orang asyik dengan kehidupannya sendiri. Selain itu tersedianya berbagai warung internet (warnet) telah memberi peluang kepada banyak orang yang tidak memiliki komputer dan saluran internet sendiri untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui internet. Kini semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya sendirian dengan komputer. Melalui program internet relay chatting (IRC) anak-anak bisa asyik mengobrol dengan teman dan orang asing kapan saja.
b. bidang pendidikan
Teknologi mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang pendidikan antara lain:
• Dampak positif
1. Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
2. Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi terciptalah metode-metode baru yang membuat siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak, karena materi tersebut dengan bantuan teknologi bisa dibuat abstrak.
3. Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka
Dengan kemajuan teknologi proses pembelajaran tidak harus mempertemukan siswa dengan guru, tetapi bisa juga menggunakan jasa pos internet dan lain-lain.
• Dampak negatif
Disamping itu juga muncul dampak negatif dalam proses pendidikan antara lain:
1. Kerahasiaan alat tes semakin terancam Program tes inteligensi seperti tes Raven, Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.. Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.
2. Penyalah gunaan pengetahuan bagi orang-orang tertentu untuk melakukan tindak kriminal. Kita tahu bahwa kemajuan di badang pendidikan juga mencetak generasi yang berepngetahuan tinggi tetapi mempunyai moral yang rendah. Contonya dengan ilmu komputer yang tingi maka orang akan berusaha menerobos sistem perbangkan dan lain-lain.
4. DAMPAK KEMAJUAN ISLAM DI BIDANG IPTEK
A. Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar Gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya.
Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar.
(1) Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa.
(2) Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa. Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.
(3) Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
B. Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
C. Bersatu pada Pijakan Bersama: “Monoteisme”
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Quran, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali ‘Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
D. Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Quran akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Quran 14 abad yang lalu:
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita saw menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Quran akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, hal. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan … (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, hal. 23)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya, Nabi kita saw mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita saw, menjadikan tuntunan akhlak Al Quran meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Negara Iran dan Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Quran dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
5. ALTRENATIF IPTEK YANG ISLAMI
Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.
Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah swt. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39). Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201).
A. Menuju integrasi imtak dan iptek
Untuk membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:
1) Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia)
2) Tujuan Pendidikan
3) Filsafat ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan
4) Pendekatan dan metode pembelajaran.
Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik. Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang sebenar-benarnya.
Berbicara filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat manusia. Soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan manusia baik sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti yang selama ini terjadi.
Manusia, dalam pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan tuhan (Q.S. At-Thiin : 4), mahluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding mahluk lain (Q.S. Al-Isra : 70), merupakan mahluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah : 30, Shad :36), manusia dibekali oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran (rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S. As-Sajadh : 9). Dengan demikian, manusia adalah mahluk rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus.
Bertolak dari filsafat manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, adalah pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama, imtak dan akhlaqul al-Karimah, dapat ditanamkan, sehingga pendidikan, selain berisi transfer ilmu, juga bermakna transformasi nilai-nilai budaya dan agama (imtak).
Lalu, apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak berbeda dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah swt (Q.S. Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yang dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum kepada kebesaran Allah swt (Q.S. Fathir : 28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran: 191-193).
Proses integrasi imtak dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya, harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu menjelaskan apa saja realitas yang dapat diketahui manusia, sedang epiremologi menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya.
Dikotomi keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah swt seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semacam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar.
Selain pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik, integralistik dan fungsional.
Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam.
Dengan pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al-Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan intelektual.
Dengan secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah swt.
Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan kecerdasan peserta didik demata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai. Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah swt.
Dalam perspektif ini, maka pengembangan pendidikan bermakna dakwah dalam arti yang sebenar-benarnya.
B. Keselarasan imtaq dan iptek
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).
Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat.
Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah pesta tahunan pasca ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian para pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi sebagian komunitas pelajar kita saat ini.
Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (imtak) serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada pembentukan karakter siswa.
Kepada guru harapan tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sekaligus jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan.
Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (imtak) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan, sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama.
Survei membuktikan, mengintegrasikan unsur ‘imtaq’ pada mata ajar selain pendidikan agama adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam praktiknya, target kurikulum yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas serta pemahaman yang berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus disampaikan, menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi terabaikan.
Memang tak ada sanksi apapun jika seorang guru selain guru agama tidak menyisipkan unsur imtaq pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Jujur saja guru umumnya takut salah jika berbicara masalah agama, mereka mencari aman hanya mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Sesungguhnya ia bukan sekadar tanggung jawab guru agama, tapi tanggung jawab semuanya. Dalam kacamata Islam, kewajiban menyampaikan kebenaran agama kewajiban setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
C. Islamisasi iptek
Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat berkembang budaya “pachinko” dan game. Tentu disebabkan mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan tentang hiburan.
Kini umat Islam hanya sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun mereka ikut berperan di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di bawah kendali pencetus sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit menghasilkan teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk menopang kepentingan khusus umat Islam.
Dunia Islam mulai bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam Islam pada dekade 70-an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional pendidikan Islam di Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an.
Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan sains Islam:
1. I’jazul Quran (mukjizat al-Quran).
I’jazul Quran dipelopori Maurice Bucaille yang sempat “boom” dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Quran dan Sains Modern“).
Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Quran. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Quran sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Quran juga bisa berubah.
d. Islamization Disciplines.
Yakni membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.
Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguaasaan warisan Islam.
3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern.
4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya).
5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah.
6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3. Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. “Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk pada tujuan mulia.” Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini.
e. Menggali epistimologi1 sains Islam (murni).
Epistimologi sains Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya: “Islamic Futures: “The Shape of Ideas to Come”” (1985), edisi Indonesia: “Masa Depan Islam”, Pustaka, 1987).
Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran:
1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia.
2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: “psikologi”, “sosiologi”, dan ilmu politik.
3. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat. 1Epistimologi: teori pengetahuan, titik dari setiap pandangan dunia. Pokok pertanyaannya: “Apa yang dapat diketahui dan bagaimana kita mengetahuinya.
Penemuan kembali sifat dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tantangan paling menarik dan penting, karena kemunculan peradaban muslim yang mandiri di masa akan datang tergantung pada cara masyarakat muslim masa kini menangani hal ini.
Dalam seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di Stocholm, 1981, dengan bantuan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam yang diharapkan dapat dipakai dalam meneliti sains modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh konsep ini adalah:
Paradigma Dasar:
(1) Tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya.
(2) Khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil Allah — segalanya sesuai keinginan-Nya.
(3) Ibadah (pemujaan) — keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah, tidak serupa kaum Syu’aib yang memelopori akar sekularisme: “Apa hubungan sholat dan berat timbangan (dalam dagang)”.
Sarana:
(4) `Ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga metafisme, semisal diuraikan Yusuf Qardhawi dalam “Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”.
Penuntun:
(5) Halal (diizinkan).
(6) `Adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan.
(7) Istishlah (kepentingan umum).
Pembatas:
(8) Haram (dilarang).
(9) Zhulm (melampaui batas).
(10) Dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros, meskipun berwudhu dengan air laut”.
Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar:
1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah dirancang teknologi yang sesuai.
2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim.
Kenyataannya, sangat tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan, lantaran kita masih terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang dicetuskan dari, oleh dan untuk Barat.
Namun paling tidak ada dua agenda praktis yang dapat dijadikan landasan: jangka pendek: membekali ilmuwan Islam dengan syakhshiyah Islamiyah, dan jangka panjang: perumusan kurikulum pendidikan Islam yang holistik.
Program perumusan kurikulum pendidikan Islam ini sudah mulai terlihat bentuknya di Indonesia, dengan lahirnya banyak sekolah sekolah Islam. Secara umum garis besarnya berlandaskan: SD: habitual; SMP: habitual dengan konsep; SMU: habitual dengan konsep dan ideologi. Diharapkan, anak anak yang dididik di sini, pada saat memasuki universitas, sudah siap bertarung secara ideologi.
Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaban Islam
Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‘Allamahu al-Bayan) bagi umat Islam.
Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Kita tahu bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah Surat Al-‘Alaq yang memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena. Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Dalam surat Al-‘Alaq, Allah swt memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil dari firman Allah swt tersebut; yaitu Pertama, kita belajar dan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya.
Dalam ajaran Islam – baik dalam ayat Quran maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah swt adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Orang yang tinggi di hadapan Allah swt adalah mereka yang berilmu.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad saw menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya pada kewajiban menuntut ilmu sedetail nabi Muhammad saw. Maka bukan hal yang asing jika waktu itu kita mendengar bahwa Islam memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan waktu itu didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Itulah zaman yang kita kenal dengan zaman keemasan Islam, walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran. Di zaman itu, di mana negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi, negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahun. Sekarang tugas kita untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seperti dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam.
Saya cukup apresiatif dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Hal itu juga yang kami lakukan di negara kami, Iran. Sehingga generasi Islam mendatang pada masa yang sama, mereka ahli dalam ilmu pengatahuan dan ahli dalam bidang agama. Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah hanya karena dua hal; karena imannya dan karena ketinggian ilmunya. Bukan karena jabatan atau hartanya. Karena itu dapat kita ambil kesimpulan bawa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan peradaban yang baik yang disebut dengan Al-Madinah al-Fadhilah.
Dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, dan juga tidak mengenal gender. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Sehingga setiap orang baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah swt kepada kita sehingga potensi itu berkembang dan sampai kepada kesempurnaan yang diharapkan. Karena itulah, agama menganggap bahwa menuntut ilmu itu termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas kepada masalah shalat, puasa, haji, dan zakat. Bahkan menuntut ilmu itu dianggap sebagai ibadah yang utama, karena dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya dengan benar. Imam Ja’far As-Shadiq pernah berkata: “Aku sangat senang dan sangat ingin agar orang-orang yang dekat denganku dan mencintaiku, mereka dapat belajar agama, dan supaya ada di atas kepala mereka cambuk yang siap mencambuknya ketika ia bermalas-malasan untuk menuntut ilmu agama”.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa. Bahkan Eropa pun seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama di bidang IPTEK. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah telah berakhir dan hanya menjadi kenagngan manis belaka kita sebagai generasi penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang pantang menyerah apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK semakin sulit untuk dibendung. Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing .
Diantara penyikapan terhadap kemajuan IPTEK masa terdapat tiga kelompok yaitu: (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya.
Perkembangan iptek adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek . Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolak ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek.
Adapun dampak negatif maupun positif dalam perkembangan iptek, Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
2. Saran
Untuk itu setiap muslim harus bisa memanfaatkan alam yang ada untuk perkembangan iptek dan seni, tetapi harus tetap menjaga dan tidak merusak yang ada. Yaitu dengan cara mencari ilmu dan mengamalkanya dan tetap berpegang teguh pada syari’at Islam. Mengembangkan Iptek yang Islami bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dengan berusaha bersama-sama, kita dapat menciptakan Iptek Islami yang berdampak positif bagi setiap muslim.
Daftar Pustaka
- Farhana.Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah;Kebangkitan dan Kemajuan. Media ilmu.
- Agar Umat Islam Mandiri.http://hidayatulloh.com
- Samantho, Y.Ahmad.IPTEK dari Sudut Pandang Islam. http://ahmadsamantho.wordpress.com
- Solihin, O.Sejarah Kejayaan Islam.www.gaulislam.com
- Sa’aduddin, Nadri.Proletar: Masa Kejayaan Islam Pertama. http://www.mail-archive.com
- Taher, Tarmizi.Umatan Wasathan.www.republika.co.id
- Yahya, Harun. Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa. www.harunyahya.com
- Mustafawi, Prof.Dr. Ayatulloh Sayyid Hasan Sadat.Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaan Islam.www.umj.ac.id
- Hafidz.Kegemilangan IPTEK di Masa Khilafah Abbasiyah. http://sobatmuda.multiply.com
- Uli dan Rio L.Dulu Islam Pernah Berjaya.www.swaramuslim.net
- Dinamika Madinatus Salam.www.republika.co.id
-www.google.com
- Munawar, Said Aqil, 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press
Shihab, Quraish, 1999. Mukjizat Al-Quran. Bandung :Mizan
http://bukucatatan-part1.blogspot.com